Chapter 35: Savage

15.2K 1.1K 27
                                    

Chapter 35

SAVAGE

[Assalamualaikum]

Langkahku terhenti begitu saja, persis di depan pintu lift. Jika saja aku menggenggam ponselku asal saja, bisa saja aku akan menjatuhkannya dengan mudah seiring tabrakan orang-orang yang keluar dari dalam lift bersamaku. Mereka tidak akan mengira aku akan parkir seenaknya dan menghalangi jalan keluar mereka.

“Mbak, hati-hati dong!” tegur salah seorang diantara mereka.

“Iya, Pak. Mohon maaf.” Aku tak sempat menoleh siapa yang menegurku karena pandanganku tersita pada layar 5 inci di genggamanku.

Pesan yang mengambang di layar belum terbuka berasal dari nomor asing.

Namun, entah mengapa aku tahu siapa pengirimnya. Selagi aku gamang untuk membukanya atau tidak, pesan yang baru muncul lagi.

[Ngga nyangka harus begini biar bisa....]

Tulisan itu terputus. Aku harus membuka pesan tersebut untuk membaca sisanya. Tapi, jika kubuka, nanti ketahuan kalau aku sedang online. Bagaimana kalau nanti ditelpon?

Walaupun ragu, kubuka juga pesan itu dengan tangan dan jantung yang gemetaran. Aku tak bisa menggambarkan perasaanku yang tak karuan. Antara takut dimarahi, juga khawatir tak bisa menghadapi ini dengan baik. Bagaimanapun, aku pergi tanpa pamit.

[Ngga nyangka harus begini biar bisa melihatmu lagi]
[Maaf aku terlambat, tapi... apa kabar kalian?]
[Aku, suamimu]

Pesan itu tak kudiamkan, tak kujawab. Bersamaan dengan itu, ada pesan lain yang masuk dari pengasuh di daycare tempat aku menitipkan Danial selama aku meeting dengan editor.

[Bu, mohon maaf, adek Danial sudah mulai cari-cari ibunya. Apa perlu saya antarkan ke atas?]

[Ngga usah, Mbak. Ini saya sudah turun. Saya jemput sekarang]

Ponselku kusimpan kembali ke dalam tas, dan tak kubuka lagi dan bergegas menemui Danial. Lagipula, aku masih ragu harus menjawab bagaimana pesan yang katanya dari suamiku. Aku menghela panjang. Itu memang pesan dari suamiku. Dari mas Ray. Dan aku sudah menduganya walau dia menggunakan nomer yang lain.

Apa kabar dia sekarang?

***

“Nduk, kapan kamu ke sini?”

Tanya Eyang uti saat aku sedang mencetak naskah finalku dari mesin printer Alina. Tinggal sebentar lagi selesai, dan aku bisa menyimpan file copy nya di flashdrive khusus yang akan kuserahkan ke mbak Risma, editorku. Hanya butuh sehari saja aku menyelesaikan editan naskahku dan menyerahkan kembali untuk proses selanjutnya. Mbak Risma juga sudah kukabari bahwa hari ini juga aku akan ke kantor lagi.

“Kenapa, Eyang? Mau bikin kolak lagi, ta?”

“Iya, Eyang kangen masak bareng sama kamu. Eh, ndak usah masak wes. Biar kamu ke sini saja, temani Eyang makan.” Aku tertawa kecil mendengarnya.

“Nanti ya, Eyang, insyaAllah, pagi ini Naya mau ke kantor penerbitan dulu. Mau menyelesaikan kontrak, janjiku. Alhamdulillah, naskah Naya selesai dan mau siap terbit.”

“Ya Allah, alhamdulillah.... Eyang ikut senang dengarnya. Semoga barokah ya, Nduk... bukumu bisa manfaat untuk orang lain. ”

Aku tertegun mendengarnya. Baru kali ini aku mendapatkan doa bagaikan restu dari orangtua khusus untukku. Selama ini bahkan aku tak pernah mendapatkan segala doa kecil itu, walau sekedar basa-basi dari orangtua dan mertuaku.
Tanpa sadar sudah kutarik pinggir bibirku, membentuk senyuman. Haha. Doa? Untukku? Mungkin aku sedang bermimpi jika mendengar mereka mendoakanku. Mungkin, doa yang tulus keluar dari bibir dan hati mereka adalah mendoakan aku segera menghilang dari muka bumi.

Nayyara, Lost in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang