Chapter 31: I, Want, You

18.2K 1.3K 26
                                    

Bab 31
I, Want, You

Ignorance.

Gelar yang sering kusematkan untuknya saat kami belum menikah dulu. Dia terlalu cuek dan tak peduli pada apa yang ada di sekitarnya. Berlagak kuat, dan sok berani. Seakan tak butuh siapapun. Aku tahu, sikap itu terbentuk karena beratnya rasa sakit yang selalu dia pikul.

Mungkin, dia terlalu lelah menangis. Mungkin dia sudah kehabisan jatah untuk bersedih. Atau mungkin, dia hanya sedang berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja.

Aku terngiang kembali, pertanyaan Eyang Uti sebelum aku memberanikan diri memintanya menjadi istriku.

"Lha kamu sendiri? Opo wis cukup iso ngerteni Nayara? Pernikahan itu bukan Cuma untuk keuntunganmu sendiri, ada pihak lain yang harus kamu bahagiakan. Istrimu. Jangan Cuma mencari siapa yang cocok denganmu. Tapi kamu sendiri lupa, apakah kamu cocok untuk dia?”

Aku selama ini rupanya abai, akan pesan penting itu. Aku pikir, dengan kami menikah, semua menjadi beres.
Permasalahanku dengan papa dan mama selesai, dia pun juga bisa bebas.

Aku tak menyadari, ketika dia perlahan malah menarik diri dariku. Dia tak lagi selepas dulu ketika mengungkap apa yang dipikirkannya. Dia tak lagi memikirkan tentang dirinya lagi. Dia memikirkan aku juga. Berusaha keras menjadi istri yang baik untukku. Menjadi istri.

Aku lupa, dia terikat denganku, menjadi istriku, ternyata bukan hal yang mudah. Bukan hanya tentangku, atau tentang dirinya. Menikah, adalah menyatukan dua keluarga besar.

Keluarga yang, sialnya, tak pernah mau menerimanya.

"Gimana Wa, menurutmu? Apa aku sudah gagal, jadi suami?"

Dewa tertawa saat mendengar pertanyaanku waktu itu. Dia yang paling tahu, aku hampir gila menahan diri. Aku ingin segera terbang, menemui istri dan anakku. Tapi aku sekaligus ragu, jika aku datang dalam keadaan yang tak dia inginkan, malah dia akan semakin menjauh.

"Sorry, Ray. Yang bisa jawab itu cuman kalian berdua. Ngga sekalian tanya langsung ke orangnya?"

Kuusap wajahku kasar mengingat itu. Menahan kesal. Dewa tahu, aku tak bisa melakukannya. Nayara memblokir aksesku padanya. Aku tak bisa menghubunginya sama sekali. Bahkan Eyang melarangku menemuinya terlebih dahulu sebelum urusanku selesai.

Aku sama sekali tidak menyangka, caraku menghilangkan jejak Kayla dalam kenanganku sepertinya berujung istriku tak bisa mempercayaiku. Dia begitu yakin, aku masih menyimpan perasaan pada perempuan yang sudah lama menghilang dari hidupku. Padahal, aku sudah lama tak memikirkannya semenjak aku menikah dengan Naya.

Ya, aku dulu memang sengaja mengajak Nayara ke tempat-tempat yang sering kudatangi bersama Kayla. Bukan untuk mengenang Kay, tapi justru untuk menutupnya. Ketika aku mengunjungi tempat-tempat itu, yang ingin kukenang bukan Kayla, tapi Nayara istriku.

Istriku.

Ya Allah, entah sejak kapan, titel itu terpatri begitu dalam. Tak mungkin aku melepasnya semudah itu. Perjuanganku mendapatkan Nayara bukan berhenti ketika ijab kabul kuucap, justru itu awal dari segalanya.

Aku tak bisa lupa, bagaimana caraku menahan diri untuk tidak menyentuhnya sama sekali karena dia belum siap. Bagaimana tidak gila? Memiliki wanita halal yang tidur memunggungiku setiap malam, tapi sama sekali tak bisa kupeluk. Guling sialan itu, yang selalu menjadi penghalang.

Aku juga laki-laki normal. Libidoku juga bisa naik ketika berdekatan seperti itu terus.

Dia tidak tahu, bagaimana bahagianya aku ketika dia mengucapkan aku sudah boleh menyentuhnya. Bukan, ini bukan hanya perkara seksualitas saja. Tapi ini juga perkara hati, bahwa dia sudah membukanya untukku. Bahwa aku bisa memberikan perhatianku lebih padanya. Bahwa aku sudah bisa dan boleh mencintainya. Bahwa dia, benar-benar menjadi istriku, bukan hanya sekadar nama.

Aku mencintainya, dan aku menginginkanya.

Tring.

Sebuah pesan muncul di WhatsApp ku. Dari Dewa.

[Confirmed, Bro. Dia di Solo. She was in graveyard, and looked devastated. Makam siapa, gw ga tau. Lo tau?]

Makam? Makam di Solo yang berhubungan dengan Nayara hanya makam ibunya. Ibu kandungnya. Tidak mungkin Naya tahu tentang itu.

Tring.

[Btw, kita di rumah Eyang Uti.]

Dewa mengirimkan sebuah foto yang diambilnya diam-diam. Dan aku bersyukur, dia mengirimkannya padaku.

[They are adorable] sebuah caption yang berada di bawah foto kedua anakku.

Putriku, yang belum pernah kupeluk dan kucium. Dan putraku, Danial, jagoanku yang tumbuh semakin menggemaskan. Aku merindukannya. Sangat.

Tring

[Bonus] caption yang menjelaskan satu foto lagi yang dikirimnya terakhir.

Dia tersenyum, tapi tidak matanya. Aku bisa melihat jelas kelelahan yang tersemat di wajahnya.

Ya. Itu Foto wanita yang selalu kurindukan.

Apakah penderitaanmu masih berlanjut? Kenapa kamu masih terlihat murung walau sudah memilih pergi atas keputusanmu sendiri? Seharusnya kamu lebih bahagia, kan?

Jika kamu tidak juga bahagia, biar kupastikam, kamu harus kembali padaku.

Nayyara, Lost in MarriageDonde viven las historias. Descúbrelo ahora