Chapter 5: The in Laws

11.3K 1.1K 34
                                    

Chapter 5

The In Laws

“Salah. Bukan segitu.”

Teguran itu membuatku menghentikan kegiatan pagiku di dapur kering. Tanganku yang memegang sendok masih tergantung menunggu instruksi. Sepertinya aku membuat kesalahan.

“Takaran kopi dan gula Rayyan tuh ndak seperti yang kamu buat itu. Harus tiga sendok teh penuh gula, dan satu sendok teh penuh kopi. Takaranmu itu salah. Mama mau negur kamu dari dulu, tapi ngga enak ada Eyang Uti.”

Mama Ratih, mertuaku, mengambil sendok yang kupakai untuk membuat kopi mas Ray. Aku mengerjap sedikit tersentak, karena rasanya seperti mama sedang menampik tanganku.

“Inggih, Ma. Maaf, kalau salah. Soalnya mas Rayyan ndak pernah protes sama kopinya. Jadi, kupikir...”

“Kamu itu lho, ya...” potong mama Ratih, “mbokya nurut, ndak usah mbantah kalau dikasih tau sama orangtua. Manuto. Wong mama ini juga ngasih tahunya bagus buat kamu juga. Pantesan mamamu itu sering ngeluh soal kamu. Memang kamunya ndak isa dibilangin.”

Kutelan ludah yang terasa pahit mendengar kata-kata yang menyelekit itu. Bukan hal baru mengetahui mamaku saling curhat dengan mama Ratih. Mereka berdua kan memang dekat dari dulu. Membicarakan keburukanku mungkin sudah menjadi bahasan biasa bagi mereka.

“Masio talah di rumah ini kamu ndak harus masak karena ada pembantu, tapi setidaknya kamu bisa bikin kopi yang enak buat suamimu. Jangan seenaknya. Menyenangkan suami itu pahala. Gitu masak ndak ngerti-ngerti kamu, Nay?”

“Inggih, Ma. Naya minta maaf.”

“Wes, ini suguhkan buat suamimu. Nyuguhno harus dengan senyuman. Ojok mbrengut gara-gara ditegur mama.”

Aku mematuhinya tanpa membantah. Aku takut membuat kesalahan lagi dan membuat mertuaku lebih tidak enak hati padahal ini masih pagi.

Kutemui mas Ray yang sedang berlari di mesin treadmill yang ada di ruang gym. Rumah besar ini memiliki fasilitas gym yang menurutku lumayan lengkap untuk penghuninya. Tidak perlu repot-repot pergi ke pusat fasilitas olahraga di luar sana hanya untuk mengeluarkan keringat. Bahkan, aku pernah beberapa kali mendapati instruktur senam yang khusus didatangkan ke sini untuk membantu mama Ratih dan Ella, istri Danny adik bungsu mas Ray, berlatih yoga dan zumba.

Mas Ray menurunkan laju larinya begitu melihatku datang dengan secangkir kopi paginya. Kutunggu sampai dia benar-benar berhenti dan turun dari treadmill sebelum mengulurkan kopi untuknya.

“Tolong handuk dulu,” pintanya menunjuk handuk putih kecil yang tersampir di atas pegangan alat bantu sit-up, entah apa namanya aku tak tahu.

“Handuknya udah basah. Mau diganti aja? Nanti gatel-gatel, lagi.”

Mas Ray tersenyum dan mengangguk senang. “Handuknya ada di lemari belakang ruangan situ. Kalau ambil di kamar nanti kejauhan. Sini dulu kopinya.”

Kulirik dia saat aku beralih ke lemari yang ditunjuknya, dan bisa kulihat dari ekspresinya, sepertinya mas Ray memang terlihat lebih menikmati kopinya hari ini. Berarti memang takaran mama itu yang terbaik untuknya. Kenapa mas Ray tidak pernah mengatakan apa-apa tentang kopi yang selalu kuseduh untuknya selama ini? Sudah bertahun-tahun aku membuatkan kopi untuknya, tak sekalipun dia mencela maupun protes.

Rasanya ada sesal yang diam-diam menjalari dadaku. Bahkan secangkir kopi favoritnya saja aku tidak tahu. Memang apa yang kutahu tentang dia? Kuingat-ingat, makanan kesukaannya juga aku sama sekali tak terpikir apapun. Mas Ray selalu memakan dan meminum apa yang kuhidangkan untuknya.

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now