Chapter 1: Oase di Gurun Pasir

20.6K 1.4K 49
                                    

“Aisyah Nayyara Kamila.”


Petugas penjaga laboratorium bahasa inggris, jurusan kuliahku di kampus memicingkan matanya, dan tak segan mendengus memperlihatkan rasa sebalnya sembari mengetikkan namaku di layar komputer yang ada di depannya. 


“Bilang yang lengkap kek dari tadi, Mbak. Jadi saya nggak neliti satu-satu nama di sini. Kalau lengkap kan, bisa langsung ketemu.”


Aku hanya bisa tersenyum kecut  dan meminta maaf saat dia menyerahkan selembar kartu yang keluar dari mesin cetaknya. Kartu yang menyatakan  akan dibimbing oleh siapa skripsiku nanti.   


“Cek jadwal dosennya di papan bulletin. Jangan lupa, segera konfirmasi waktu ke beliau.”


Yah, betul. Mencari jadwal dosen dan menyesuaikan waktu bimbingan adalah prioritasku saat ini. Aku harus lulus tepat waktu agar tidak seterusnya menjadi beban papa lagi seperti yang mama bilang.


Seperti yang kukatakan ke petugas lab bahasa tadi, namaku Aisyah Nayyara Kamila. 


Canggung rasanya saat menyebut nama lengkapku sendiri. Apalagi di depan orang yang tidak begitu kukenal. Aku lebih suka dengan nama Nay, atau Nayyara jika terpaksa.


Katanya, nama itu bermakna perempuan luar biasa berhati lembut yang membawa kebahagiaan sempurna.


Tapi kenyataannya, membawa namaku sendiri aku merasa malu. Karena diriku sama sekali tak mencerminkan itu. 

Bahkan nama Aisyah, menjadi beban tersendiri bagiku saat aku mengetahui bahwa nama tersebut sepertinya dinisbatkan pada nama salah seorang istri Rasulullah Sallahu’alaihi wa Salam yang sangat luar biasa cerdasnya dan lembut hatinya.


Aku bukan perempuan berhati lembut. Aku bahkan bukan manusia luar biasa. Bagiku, merasakan kebahagiaan secuil adalah sebuah mimpi, apalagi kebahagiaan yang sempurna.


 Entah siapa yang memberiku nama ketika aku lahir itu, sepertinya sekarang dia akan menyesal saat mengetahui aku tak sama seperti apa yang dia doakan.


“Penganten baru, udah masuk kampus aja?” Alina menyikut lenganku yang sibuk mencatat jadwal dosen di papan bulletin.


“Jangan berisik! Kalau nggak masuk sekarang, bisa kehabisan dosen pembimbing aku nanti.”


Alina mendengus. “Nggak seru, ih! Bulan madu dulu, kek. Kemana gitu… masa abis nikahan, langsung kuliah?”


Segera kubekap mulutnya yang bicara seperti tanpa saringan dan tidak ada rem. Aku masih tidak mau teman-teman di kampus tahu tentang kabar pernikahanku yang mendadak ini. 

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now