Chapter 16: Bukan Aku

10.4K 1K 19
                                    

Chapter 16

Bukan Aku


Oh, how I wish to bring you back
To let you two entwined in one

Dia berdiri di sana, di ambang pintu dengan lengan terlipat dan kaki menyilang. Menyandarkan bahu dan kepalanya miring ke kusen pintu rumah kami sepertinya cukup untuk membuat dia bertahan untuk tidak terjatuh.

Dia menungguku, aku yakin itu.

Aku merasa ada sesuatu yang ganjil ketika melihat air mukanya dari kejauhan. Aku bisa melihatnya walau dalam gelap malam dari dalam mobil mbak Maya bahkan sebelum kami turun.

“Duh, segitunya yang kangen,” goda Mbak Maya seraya membantuku mengeluarkan tas bawaanku. “Bete banget dong ditinggalin keluar kota dua hari sama anak istri.”

Mas Ray hanya menjawab dengan senyuman datar.

“Kita ngga mampir ya, Ray. Capek banget nih, langsung pulang aja mau istirahat,” seru mas Dewa sambil melambaikan tangan sebelum masuk kembali ke dalam mobil.

Jelas, baik mbak Maya dan mas Dewa tidak ada yang menyadari keganjilan sikap mas Ray. Dia bahkan tidak menghampiri kami, membantu membawakan tas ataupun datang mencium Danial yang tertidur dalam pelukanku.

Begitu aku sampai padanya, mencium punggung tangannya, dia langsung masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun kepadaku. Aneh.

Aku tahu ada yang tidak beres.

Apa dia tahu alasanku ikut mbak Maya? Benarkan dia menyadari aku pergi untuk menemui wanita itu? Apa dia marah karena hal tersebut? Kesalkah karena aku tidak mengajaknya    sehingga dia tak punya kesempatan lagi untuk bertemu wanita pujaannya?

Dia sudah berbaring miring dengan hanya memperlihatkan punggungnya begitu aku keluar dari kamar mandi. Danial sudah terlelap di pembaringannya yang terletak di sebelah kami. Seharusnya tidak ada jarak di antara aku dan mas Ray. Tapi, melihatnya yang seakan sengaja memunggungi mau tak mau aku merasa ada dinding kokoh yang sedang dibangun diantara kami berdua.

Aku bahkan tak berani hanya untuk membetulkan selimut yang tak sepenuhnya menutupi tubuhnya. Tanganku yang terulur, kembali kutarik. Khawatir malah nanti sentuhanku akan mengusiknya.

Dadaku terasa sesak. 

Perlahan aku beringsut keluar kamar. Tak mengindahkan tubuhku sendiri yang sungguh lelah setengah mati karena perjalanan jauh yang tak mudah. Aku lebih memilih duduk dalam kesendirianku di sofa malas di ruang tengah. Menyalakan tayangan di televisi yang tak begitu lekat kusimak. Pikiranku sendiri mengembara tak tentu arah.

***

Aku tak menyangka, pertemuanku dengan Kayla malah membuatku semakin merasa tidak lebih baik. Kesempatan itu hilang. Aku tidak bisa membuat mas Ray bahagia dengan perempuan yang dicintainya.

Masih tergambar jelas pemandangan di depan mataku sehari yang lalu. Seorang lelaki berumur ada di rumah itu juga ketika aku datang. Lelaki berumur yang tak lepas merangkulkan lengannya ke bahu Kayla, sesekali melemparkan senyuman mesra ketika kami mengobrol, menggenggam dan mengelus tangan Kayla tanpa canggung di depanku yang seharusnya asing baginya.

Agak berlebihan sebenarnya. Perlakuan itu malah membuatku yang melihatnya menjadi sangat tidak nyaman. Tapi bagaimanapun, itu sudah menjadi jawaban. Kayla sudah menikah. Lelaki itu suaminya. Dan mereka berdua terlihat bahagia bersama.

Mereka berdua terlalu sibuk menunjukkan kemesraan, hingga aku tak sadar luput menyebutkan bahwa lelaki yang kunikahi adalah Rayyan Alfatih. 

Mungkin lelaki itu yang membuat Kayla meninggalkan mas Ray. Aku memang tak pernah tahu alasan perpisahan mereka. Mas Ray tak pernah bercerita jelas tentang hal itu dan dia selalu menghindar ketika aku sedikit memberanikan diri menanyakannya.

Nayyara, Lost in MarriageWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu