chapter 4 : a boy

829 88 0
                                    

Melihat keempat sahabat yang sedang duduk duduk di pinggiran danau. Winter mengambil ponselnya didalam tas lalu segera membuka aplikasi camera untuk mengabadikan momen terpenting dalam hidupnya. Ditambah lagi dengan hidangan es krim yang baru saja dibeli oleh Ningning.

" Ayo semuanya bergaya!" Winter meletakkan ponselnya keatas.

Selama delapan belas tahun hidup di planet ini, aku tidak pernah yang namanya berfoto atau bahkan memotret diriku sendiri. Papa dan Mama selalu saja membuang kenangan bekas lama fotoku dan menyimpannya di gudang, karena menurut mereka itu hanyalah sampah yang mengotori rumah elegan mereka.

" Kar, Lo ngelamun lagi ya?" Tanya Giselle

" Hah? Maaf "

Kami berempat lalu menuruti apa kata gadis bernama musim dingin itu. Walaupun aku sedikit ragu, karena tidak pernah melatih wajahku atau bahkan tersenyum di layar ponsel, tetapi jika melihat seseorang bahagia itu akan membuat suasana hatimu menjadi tenang. Sore itu kami menghabiskan waktu di taman dengan ngobrol ngobrol singkat seputar kehidupan, dan Giselle membicarakan soal idola favoritnya dari sebuah grup Korea dari agensi yang sangat besar. Jung Jaehyun, lelaki dengan seribu kelebihan dan visual yang rupawan. Katanya, dengan girang. Lalu membicarakan soal ketampanannya, Giselle ini sangat mengidolakannya, bahkan sudah sering mengikuti konsernya lebih dari sekali, ah bahagia sekali menjadi keluarganya.

Berbeda dengan nasibku, meminta sesuatu dari mama dan papa saja susahnya melebihi soal ujian statistika matematika. Papa dan mama akan selalu mengatakan tidak dan tidak, bahkan waktu saat kecil bertemu badut dari kartun favoritku Pororo saja dimarahin. Ini aneh, seharusnya anak boleh mendapatkan haknya, tetapi dilarang oleh kedua orangtuanya yang justru membuat anak ini semakin takut akan dunia kehidupan. Dulu mama dan papa juga tidak mengijinkan Kak Irene untuk debut sebagai trainee di sebuah agensi, padahal kakakku memiliki suara nan merdu layaknya penyanyi orkestra. Dia juga cantik namun sayangnya tak mendapatkan dukungan dari orangtuanya.

Selepas dari taman, kami semua berencana untuk segera balik kerumah karena sang mentari baru saja jatuh dengan perlahan dan langit berubah menjadi senja sore yang indah. Winter dan kedua temannya pulang dengan keadaan biasa saja dan begitu sangat tenang. Sedangkan aku? Betapa menyedihkannya ketika saat ingin pulang kerumah, rasa takut ditambah deg degan bercampur menjadi satu rupa. Kadang aku lebih baik memilih tinggal sendiri dipinggir jalan, dibanding harus pulang kerumah dengan keadaan takut dan juga merasa bersalah.

Aku akan berbahagia jika aku tinggal disini bersama para pengemis jalanan yang berusaha mengais rezeki untuk kebutuhan makan serta minum mereka, mencari uang untuk membeli sandang dan papan bagi masing masing keluarga, itu mungkin lebih menyenangkan dibanding mempunyai keluarga lengkap yang sama sekali tidak ada keharmonisan diantara keluarga. Jadi untuk apa aku harus penting penting belajar pendidikan kewarganegaraan jika keadilan dan keharmonisan itu tidak ada? Untuk apa belajar Hak dan Kewajiban jika hak itu diperlakukan dengan salah oleh pihak yang sama sekali bukan siapa siapa.

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke kota kembali dengan naik kendaraan menuju arah rumah. Walaupun sudah sedikit malam dan itu  mungkin agak begitu berbahaya tapi aku tidak peduli akan semua itu, tubuhku tidak terlalu lemah untuk melawan lelaki lelaki cabul yang mungkin akan mendekatiku karena wanita seorang diri yang naik bus malam malam, terlebih umurku masih sangat belia, delapan belas tahun. Tetapi aku masih bingung dengan arah tujuanku ingin kemana, apakah aku harus kerumah atau sama sekali tidak.

Memilih keputusan adalah hal yang menurutku sama sekali sangat sulit, bayangkan saja kau diberi keputusan soal lebih baik memilih ibumu atau ayahmu, kalian semua berpikir akan menjawab dua duanya, karena mereka begitu sangat berarti dimata seorang anak. Tetapi datanglah ke hidupku dan semuanya akan berubah, soal keputusan memilih ayah dan ibu, aku akan lebih baik  memilih mati saja daripada harus berunding dengan kedua keputusan yang sama sekali ingin kukatakan persetan.

You | Lee Jeno ✓Where stories live. Discover now