6| Papa?

21.5K 3.7K 542
                                    

Dareen dan Jessika saling menatap kemudian pria itu beralih melihat ke arah anak laki-laki malang yang terpejam dengan wajah pucat di ranjang milik Keyla.

"Emil?" beo Dareen membuat Jessika menganggukkan kepala, berusaha meyakinkan.

"Setelah kamu nganter Emil pulang, Keyla gak berhenti rewel manggil Emil jadi ya gue adopsi aja sama Bi Dina lagian Emil gak punya orang tua," jelas Jessika seraya duduk di tepi ranjang. "Gue gak bisa bayangin gimana hidup dia ngeliat luka-luka ditubuhnya, Reen."

Dareen termenung, apa Bi Dina melanggar janjinya dan memukul Emil lagi? Benar-benar wanita tak berprikemanusiaan. Tangan Dareen terkepal, ia harus memberi pelajaran.

Suara lenguhan di ranjang kemudian membuyarkan lamunan Dareen, ia melihat ke arah Emillio yang entah kenapa malah menangis sembari bergumam lirih, "sa-kit. Sa-kit."

Anak itu menangis membuat Dareen bergerak memeluk tubuh ringkih itu. Aneh, Emillio langsung tenang membuat dahi Jessika mengerut heran. Namun, wanita itu lebih memilih tak mempersalahkan. Berpikir, respon yang diberikan anak itu hanyalah kebetulan.

Sementara Dareen, entah dorongan darimana mengusap lembut rambut Emillio dan sesekali mencium puncuk kepala anak itu berupaya memberikan ketenangan yang mungkin tak pernah Emil dapatkan semasa hidupnya.

*

Di tengah-tengah sekumpulan orang yang sedang menyantap makanan yang tersaji di atas meja besar dengan nikmat, Milly sedari tadi hanya memainkan sendok di atas piringnya. Pikirannya terus tertuju pada perkataan Dika, jika ia bisa melihat bagaimana keadaan anaknya yang terawat lalu kenapa ia harus terus kepikiran tentang ucapan Dika?

"Kemaren kamu bawa pacar ke rumah?" tanya wanita membuka percakapan di ruangan yang beberapa menit lalu hanya hening yang terjadi itu.

Sosok gadis seusia Milly mengangguk dengan mantap tanpa rasa ragu membuat wanita dengan rambut pendek itu tersenyum miring.

"Inget. Pacaran jaga batasan jangan sampe kebablasan dan ekhem." Wanita itu berdehem sembari melirik Milly dengan sinis. "Jangan kayak si onoh."

Selalu saja. Setiap makan dengan keluarga besar terjadi, kesalahan Milly terus diungkit-ungkit. Ibarat kain putih yang terkena noda, sebagaimanapun noda itu berupaya dihilangkan, sebagaimanapun noda itu berusaha dibersihkan tetapi tetap saja menempel dan kain itu akan selalu dianggap kotor tanpa peduli bahwa sebelumnya kain itu pernah bersih.

Satu kesalahan menghapus seribu kebaikan, satu noda menghancurkan keindahan. Benar-benar menyebalkan karena Milly hanya dapat membisu.

Ini alasan Milly ingin mengasingkan diri. Ia harus berjuang mendapatkan uang supaya bisa membangun rumah indah yang jauh dari semua orang. Supaya ia tak mendengar sindiran-sindiran ataupun cibiran orang-orang. Ia berharap anaknya bis menunggu dan bertahan.

"Sementara kamu Mella?" tanya wanita yang sebenarnya adalah Tantenya Milly yang merepotkan. Merepotkan karena lidahnya yang tajam.

"Kapan kamu ngasih Ibu kamu cucu?" sewot wanita itu kemudian menatap wanita berhijab yang sedari tadi hanya menunduk mendengarkan dalam diam. "Heran ya, Mba kok dua anak kamu gak ada yang bener."

"Tante Nini!" Milly membentak seraya membanting sendok. Ia tak bisa menahan emosi saat melihat Kakak satu-satunya berlari pergi dari ruang makan dengan tangis.

Takdir benar-benar mempermainkan keluarganya dimana sang Kakak yang sudah menikah tujuh tahun belum dikaruniai keturunan sementara dirinya? Ia malah membuang anaknya.

"Bisa enggak, kalau bicara tuh dijaga. Gimana perasaan Tante kalau anak Tante berada di posisi Kak Mella?"

Milly muak. Ia pergi dari sana dengan emosi yang siap meledak. Wanita itu membanting kursinya membuat semua yang berada di ruangan terperanjat.

EMILLIOWhere stories live. Discover now