12| Kasta

18.2K 3.3K 474
                                    

Di hari bahagianya, Milly tak seharusnya memasang wajah cemberut seperti itu. Bahkan, ketika orang-orang menaiki panggung untuk bersalaman dan mengucapkan selamat atas pernikahannya, Milly hanya menampilkan senyuman tipis.

Tak sedikit yang merasa heran dan bertanya-tanya, apakah Milly tidak bahagia dengan pernikahannya bersama Dareen?

"Aku gak tahan, Reen." Milly berbisik dan menatap dengan air mata yang mengenang di pelupuk matanya pada sosok laki-laki yang tepat hari ini sah menjadi suaminya. "Emil anakku."

"Anak kita," tegas Dareen. Matanya meilirik para tamu yang satu persatu mulai meninggalkan tempat untuk pulang.

Ketika dirasa ruangan sudah sepi, Dareen memegang tangan Milly, mengecupnya lama dan menatap perempuan itu lamat.

"Aku hanya perlu menemukan keberadaan Jessika," ucap Dareen bersunggung-sungguh. Tangannya terulur mengusap lembut pipi kiri Milly. "Kita bisa menemukan anak kita dan nebus kesalahan kita sama dia."

Milly mencoba menampilkan senyum tipis. Namun, sekuat apa pun ia tahan, air matanya memilih berkhianat dan jatuh mengaliri pipinya yang putih. "Ini salahku."

"Salahku juga, Mill." Dareen membawa tubuh istrinya ke dalam gendongan karena Milly pasti lelah dari pagi melayani tamu-tamu mereka. "Kita bersama-sama berusaha cari dia. Emillio anakku, anak kamu, anak kita."

Tak membutuhkan waktu lama, ketika sampai di kamar, Dareen menurunkan istrinya.

Milly pun duduk di pinggir ranjang sembari menatap sendu suaminya. "Boleh minta satu hal?"

"Apa pun," balas Dareen mencium kening Milly penuh sayang.

"Aku gak mau punya anak lagi sebelum Emilku ketemu," ucap Milly ragu yang membuat Dareen terdiam beberapa waktu.

Lama termenung, Dareen pada akhirnya menatap tepat retina mata Milly. "Aku janji akan menemukannya."

Milly memeluk Dareen erat. Air mata itu kembali membasahi wajah cantiknya. "Aku takut dia kelaparan di luar sana."

Ucapan Milly membuat tamparan keras pada Dareen yang teringat anak kecil berambut gondrong dan berpakaian kucel yang tengah memunguti satu persatu butir nasi di depan rumah Tarjo kala itu.

*

Keysa mendorong tubuh mungil itu hingga tersungkur. "Enggak ada alasan lagi kamu tinggal di rumahku. Kak Jessika sudah pergi bersama Keyla, kamu gak punya siapa pun yang akan membelamu."

Wajah anak laki-laki itu pucat. Luka-luka di betisnya entah karena apa tak dapat disembunyikan dari mata.

Dia hanya bisa menangis kesakitan dan berteriak ampun saat ketidak adilan terus ia dapatkan selama tinggal bersama neneknya Keyla. Emil pun tak mengerti kenapa Keysa begitu membencinya.

"Aku bilang pergi!" teriak Keysa dan tangan mungilnya ditarik kasar oleh neneknya Keyla. Emil hanya bisa menangis sembari berteriak, "ampun! Sakit!"

Tidak semua orang punya rasa kasihan dan sayangnya selama ini ia bertahan hidup dari simpati orang-orang di sekitarnya.

Orang-orang yang mampu memahami dukanya, orang-orang yang bisa ikut merasakan sakitnya, dan orang-orang yang tak menatapnya sebelah mata.

Dia hanyalah anak yang tak tahu apa-apa, dia pun tak pernah meminta untuk dilahirkan menjadi seperti ini.

Kaki kecilnya berlari, isakannya kian keras terdengar saat melihat mobil yang ditumpangi Neneknya Keyla berjalan menjauhinya, meninggalkannya seorang diri di tepi jalanan sepi yang entah berantah.

"Nenek!" teriaknya. "Jangan tinggalin Emil! Emil takut, Nenek!"

Dia berteriak sembari berlari mengejar mobil yang melaju kencang. Kaki mungilnya tak akan pernah mampu menyamai kecepatan mobil itu hingga sampai di titik di mana tubuhnya tak mampu menahan bobotnya, ia terjatuh.

EMILLIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang