48. Kabur

9.3K 2.5K 1.2K
                                    

Saat itu jam menunjukkan pukul 11:39 malam ketika Emillio selesai memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas.

Setelah mendengar ancaman Darko pada ibunya, ia mengajak neneknya pindah ke sana untuk membuktikan bahwa ia sama sekali tak takut pada pria itu.

Namun, setelah tinggal dan hidup bersama kedua orang tuanya, semua ucapan ibunya justru membuat ia merasa ingin mati setiap detik.

Emillio tidak tahan bahkan siapa pun yang berada di posisinya tidak akan sanggup. Maka, Emillio putuskan pergi. Ke mana pun yang penting ia jauh dari Milly dan anak kesayangannya.

Setelah menyamankan letak tasnya dipunggung, Emillio berjalan menuju kamar neneknya. Ia membuka pintu kamar itu pelan lantas kemudian tersenyum kecil melihat wanita tua itu terlelap.

Ia menyelimuti neneknya lalu mencium kening wanita itu sembari mengucap maaf berkali-kali.

Pada akhirnya, dengan terpaksa ia membawa langkahnya pergi dari sana. Setelah menutup dengan teramat pelan pintu kamar tempat neneknya berada, Emillio terduduk di lantai sembari bersandar pada pintu, menangis hebat di sana.

Anak yang terlahir dari kesalahan memang tidak akan pernah bisa hidup seperti anak lain kebanyakan.

Karena dari awal kehadirannya tak pernah diinginkan. Jadi, ia tidak bisa mengharapkan kebahagiaan.

Emillio bangkit, ia terkejut melihat Rico berdiri tak jauh dari tempatnya.

Emillio menghapus air mata yang tak berhenti turun ke pipinya. Untuk pertama kalinya ia memperlihatkan sisi rapuhnya pada Rico.

"Lo enggak boleh ke mana-mana," ucap Rico. Suaranya bergetar.

"Bukankah harusnya lo senang?" Emillio tersenyum kecil sekilas sebelum akhirnya mempercepat langkah pergi dari sana.

"Brengsek!" umpat Rico berjalan cepat ke kamar ibunya.

Rico melihat Milly tengah memandang kosong kepergian Emillio melalui jendela.

"Mama keterlaluan."

"Kamu membelanya sekarang?" tanya Milly dingin.

"Oke," ucap Rico. "Aku lebih sering merendahkannya. Bilang dia anak haram, bilang dia anak gak diinginkan, sampah, penghancur kehidupan orang, atau bahkan semua kata terburuk yang ada di dunia."

"Itu semua keluar dari bibirku. Dia bisa marah, dia bisa memukulku, mengumpat, dan balas menghinaku."

Rico mengusap wajahnya kasar. "Tapi saat semua itu keluar dari bibir ibunya sendiri, apa Mama pernah bayangin gimana hancurnya dia."

"Dia gak bisa mukul Mama untuk ngelampiasin rasa sakitnya seperti yang dia lakukan padaku, dia enggak bisa mengumpati Mama seperti yang dia lakukan padaku, dan dia tidak bisa balas menghina Mama seperti yang dia lakukan padaku. Benar, aku harusnya enggak peduli dan justru harusnya senang tapi saat membayangkan aku di posisi dia, aku yang enggak punya ikatan apa-apa sama dia pun ikut hancur, Ma."

Milly tak menimpali apa-apa.

"Aku dulu sering membuang nasi bungkus yang susah payah dia dapat, merampas gaji dari hasil jerih payahnya mengangkat sekarung beras di toko, menumpahkan sampah di seragam dan tubuhnya, dan bahkan merendahkannya seperti sampah. Aku dan teman-temanku memukulinya hingga babak belur, menjadikan dia bahan tertawaan di seluruh penjuru sekolah. Mama tahu? Dia enggak pernah menangis."

"Dan malam ini, aku melihatnya menangis."

Rico berjalan pergi dari sana meninggalkan Milly yang merosot ke lantai dengan tangis.

Di waktu yang bersamaan suara mobil terdengar masuk pekarangan rumah. Milly menegang. Bagaimana bisa ia lupa tentang suaminya dan reaksi pria itu jika tahu Emillio kabur.

EMILLIOWhere stories live. Discover now