17| Keluarga

16K 3.6K 1.4K
                                    

Pintu kayu yang dicat berwarna coklat tua itu dibanting kuat membuat ruangan semakin diliputi ketegangan. "Sudah berapa kali ku bilang?"

Laki-laki itu diselimuti amarah hingga seperti akan meledak setiap menatap dua orang yang membuatnya terlahir ke dunia.

"Apa Bapak sama Ibu pernah mikir seandainya teman-temanku tahu kalau aku ini adalah anak dari mantan narapidana." Giginya bergemelutuk dan urat-urat lehernya terlihat membuktikan seberapa marahnya ia sekarang. Ini semua dimulai saat sang Ayah datang dengan baju khas supirnya ke kafe tempat ia dan teman-temannya berada. "Atau bahkan seandainya mereka tahu kalau Bapakku hanya bekerja sebagai seorang supir."

"Cukup." Satu-satunya wanita dalam ruangan itu menatap sang suami yang menundukkan kepala dalam lalu beralih melihat anak tunggalnya. "Apa kamu tahu apa yang kami korbankan untuk membahagiakan mu?"

"Apa?" tanya sang anak dengan nada suara meninggi. "Kobankan? Cih bahkan aku terus mikir kenapa aku harus punya orang tua kayak kalian."

"Dika tutup mulutmu!" Setelah lama menahan diri dalam kebisuan, sang Ayah yang merasa tak tahan angkat suara. "Kami menjadi seperti ini, itu semua untukmu."

"Setiap malam aku gak bisa tidur tenang saat memikirkan kalau nanti semuanya terbongkar. Emil, anak orang kaya dan aku anak dari mantan supir ibunya. Apa yang akan dilakukan Rico, Zetta, dan Ben? Aku bakal jadi bulan-bulanan sekolah," gumam Dika mengusap wajahnya kasar. "Aku gak pernah bisa nerima ini semua!"

"Lalu apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Bi Dina dengan sendu. "Setiap hari kami dengar kamu ngeluh tentang kami padahal karena rasa irimu sama Emil, kami sampe melakukan segala hal_"

Bi Dina menunduk, tubuhnya gemetar. "Kami dulu mengancam Ibu panti tempat Emil untuk mengakui anak itu sebagai anak kandungnya hanya karena supaya enggak ada satu pun orang tua yang adopsi Emil."

"Cukup, Nak." Tangan Bibi Dina terulur untuk mengusap lembut punggung tegap Dika. "Cukup kita buat hidup anak itu menderita."

"Pak, Bu, jangan sampe Om Dareen dan Tante Milly tahu dan ketemu sama Emil." Dika menatap kedua orang tuanya. "Aku gak sudi dunia berputar secepat itu. Dia harus tetap berada di bawahku."

*

Emillio menatap sosok yang mengenakan topi itu dengan sorot yang sukit didefinisikan, sosok yang dulu hingga sekarang mengincarnya. Tidak ada sedikitpun raut takut di wajah anak itu.

"Masih mau membunuhku?" tanyanya santai membuat si pria bertopi terkejut.
Emillio memanfaatkannya, ketika pria itu lengah ia menendang selangkangan pria tersebut lalu merebut pistolnya dan ia buang sejauh mungkin.

Pria yang tadi meringis kesakitan menatap Emillio. "Kurang ajar!" Kemudian, meraih pisau di saku jasnya dan mengejar Emil yang berlari.

Anak laki-laki yang masih belum punya energi penuh itu mengeluarkan seluruh tenaga yang ia punya untuk menghindari pria bertopi. Pria yang dulu saat ia masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar pernah masuk penjara karena tertangkap basah melakukan pembunuhan berencana padanya. Emillio tak mengerti, apa yang menyebabkan laki-laki itu begitu membenci hingga ingin menyingingkirkannya dari dunia ini.

Sembari menoleh ke belakang, menatap pria bertopi yang masih mengejarnya Emillio berlari ke tengah jalan tepat sebuah mobil melaju kencang dan kecelakaan tak terelakkan pun terjadi.

*

Pelan-pelan Emillio membuka mata, sesuatu yang dingin mengalir dari pelipisnya, saat ia akan memegang untuk mengecek, tangannya terikat. Tubuh Emillio menegang, mengira pria bertopi berhasil membawanya. Namun, dugaannya salah saat sosok Dareen lah yang muncul.

EMILLIOWhere stories live. Discover now