16| Zenna bukan Zetta

15.6K 3.3K 4.2K
                                    

Emillio sudah bisa menghembuskan napas lega tatkala berangkat sekolah dengan nyaman lalu pulang dengan tenang. Tak ada lagi gangguan atau bulan-bulanan semenjak video itu ia sebarkan. Meskipun ia tak tahu, hukuman apa yang menyebabkan keempat siswa juga siswi itu tak lagi pernah sekolah.

"Emil," panggil Keyla. Mata gadis itu selalu berbinar setiap menatap Emillio. Dia mengejar Emillio tepat saat bell pulang dibunyikan.

"Apa?" balas Emillio datar. Raut wajahnya selalu tak senang setiap Keyla datang mengulurkan tangan entah untuk membantunya ataupun menyangkut hal lain.

Sementara Keyla memainkan jarinya. Terlihat jelas gadis itu gugup."Lo sibuk? Gue emmm ... gue mau ngajakin main, bisa?"

"Gue gak pernah punya waktu buat main-main, Key." Emillio menghela napas panjang. "Gue gak kayak lo dan yang lain."

Emillio berjalan pergi meninggalkan Keyla yang tak dapat menyembunyikan raut kecewanya. Namun, seharusnya Keyla juga mengerti kalau waktu Emil diisi dengan kerja, kerja, dan kerja. Tapi, Keyla ingin sekali menghabiskan waktu dengan laki-laki itu. Lelaki yang ia suka sejak masuk SMA sekaligus teman kecilnya.

Di tempat lain, Emillio membuka seragamnya di kamar mandi lalu menggantinya dengan kaos oblong berwarna hitam. Masih mengenakan celana sekolahnya, dia memasukkan baju kedalam tas lalu berjalan ke toko tempat biasa ia memanggul sekarung beras.

Laki-laki itu mengukir senyum saat melihat sebuah mobil terbuka dengan banyak beras di atasnya. Dengan segera tangannya terulur untuk mengangkat satu karung dan berniat memindahkannya ke toko seperti biasa tetapi baru saja ia menyentuh karung putih itu, pemilik toko datang dan berseru, "jangan sentuh beras itu."

Kening Emil mengerut. "Loh? Bukannya beras-beras ini harus dimasukkan ke toko, ya, Kek buat dijual?"

"Iya betul," kata si Kakek pemilik toko. "tapi saya sudah punya orang lain buat memindahkannya. Yang lebih kuat dari kamu."

"InsyaAllah saya kuat, kok, Kek. Kaki saya udah baikan, tangan saya juga." Emillio menatap penuh harap tetapi si Kakek malah mengibas-ngibaskan tangannya.

"Pergi dari sini," ucap si Kakek membuat Emil menghembuskan napas berat. Digendongnya tas lusuh berwarna hitam itu erat lalu ia melangkahkan kaki pergi dari sana.

Di jalan dekat toko tadi, ia melihat Ibu-Ibu kesulitan membawa barang belanjaannya.

Emil berjalan cepat menghampiri wanita itu. "Biar saya bantu, Bu."

Satu kantung plastik besar berisi sayuran dan bumbu-bumbu dapur Emil bawakan ke pinggir jalan tempat sebuah mobil terparkir bersama pemiliknya di sana.

Emil kembali ke tempat si Ibu tadi, membawakan dua tong gas yang sudah terisi ke mobil tempat ia menaruh belanjaan yang lain. Tak berhenti di sana, anak itu kembali ke arah Si Ibu, membawakan satu kantung plastik berwarna hitam yang sepertinya terisi penuh dengan beras.

Setelah selesai, anak itu menyeka keringat. sembari menatap si Ibu yang menutup pintu mobilnya. Tanpa sepatah kata pun upah untuknya, wanita yang ia bantu menjalankan mobilnya pergi meninggalkan Emillio yang terduduk lemas di pinggir jalan.

Namun, anak itu kembali bangkit. Ia berjalan di jalanan yang ramai kendaraan berlalu lalang. Cukup jauh ia melangkah, ia tersenyum menatap sebuah kafe yang tak sepi. Banyak pengunjung berdatangan, pasti pemilik dan karyawan kafe itu kewalahan. Kesempatan untuk mendapatkan uang bagi Emil.

Masih menggendong tas sekolahnya, Emillio masuk ke kafe tersebut, melihat sosok pria paruh baya berjas di sana. Terlihat tengah memantau kondisi kafe. "Anda pemilik kafe ini?" Dia bertanya sesopan mungkin.

EMILLIOWhere stories live. Discover now