11| Terbongkar

20K 3.6K 589
                                    

Pintu Apartement di depannya terbuka, Dareen tak juga melunturkan senyum meskipun wanita yang membuka pintu menatap tak bersahabat dirinya. Dareen memaklumi, sang pemilik hati dari sejak ia SMA itu masih membutuhkan waktu untuk memaafkannya.

"Apa kita akan terus berdiri di sini?" tanya Dareen bingung, setangkai bunga ia bawa di tangan kanannya kemudian menyerahkan pada Milly.

"Menurut lo?" ketus Milly sembari berjalan masuk tanpa menerima bunga pemberian Dareen tetapi laki-laki itu mengikutinya dari belakang sembari tersenyum kecut.

Milly menyuruh Dareen duduk di sofa kemudian berjalan ke dapur menyiapkan minuman tanpa bertanya, minuman jenis apa yang diinginkan tamunya.

Tak lama ia kembali sembari membawa segelas air putih di atas nampan. "Gue cuman punya air putih buat cowok gak bertanggung jawab."

Milly duduk di sofa yang sedikit jauh dari Dareen. "Masih syukur gue mau nerima tamu gak tahu diri ples ngasih lo minum."

"Iya, iya," kata Dareen sembari meneguk air yang Milly sediakan. "Makasiii ya Ibu dari anak gue."

"Hm." Milly bersedekap dada sembari memalingkan wajah. Ini pertama kalinya emosinya tak meledak saat berhadapan dengan Dareen. Seandainya ia tak dikasih pencerahan oleh Mella, mungkin ia sudah mencakar-cakar wajah Dareen.

Namun, keterdiamannya pun sungguh membuat suasana menjadi amat canggung. Dareen salah tingkah, takut memulai percakapan yang membuat Milly marah. Namun, pada akhirnya ia kembali membuak suara memecah keheningan yang melanda. "Apa kabar?"

Milly berdecih mendengarnya. "Menurut lo?"

Dareen menggaruh tengkuk yang sama sekali tak gatal, berupaya mencari cara menghilangkan kegugupan. "Sekarang lo ngapain?"

"Napas. Lo punya mata gak sih?!" bentak Milly yang lagi-lagi membuat Dareen menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Laki-laki terdiam. Hening kembali terjadi. Berulang kali Dareen melirik Milly sampai ia tertangkap basah.

"Ngapain lo liat-liat gue kayak gitu? Lo pikir gue masih sama kayak yang dulu? Sekali ditatap sama lo langsung luluh dan mau ngelakuin apapun yang lo mau!" bentak Milly membuat Dareen meneguk ludah kasar. Kenapa ia menjadi serba salah sekarang.

Laki-laki itu menghela napas panjang dan pada akhirnya memberanikan diri mengutarakan maksud kedatangannya menemui Milly. "Gimana keputusan lo? Mmm ... lo mau ngasih gue kesempatan 'kan?"

"Menurut lo?" semprot Milly membuat Dareen lagi-lagi bingung harus berbicara bagaimana supaya ia tak salah.

"Bukan karena gue masih belum move on dari cowok pengecut kayak lo tapi demi anak gue," lanjut Milly. Dareen bingung, ucapan Milly tak memberikan kepastian yang jelas.

"Ja ... jadi?" tanyanya ragu. Ia menatap dalam-dalam retina mata Milly. "Jadi selama ini dugaan gue bener. Anak kita masih hidup."

Dareen mendekati Milly. "Dimana dia sekarang?"

Pertanyaan yang membuat rasa sesak itu kembali muncul di dada Milly hingga wanita itu mendongak, berusaha membuat air matanya tak jatuh ke pipi.

"Milly jawab gue. Dimana anak kita sekarang!" bentak Dareen tak sabaran. Tubuh Milly langsung gemetar, wanita itu bahkan tak berani menatap mata Dareen. Sangat berbeda saat beberapa menit yang lalu ketika ia membentak Dareen.

"Apa peduli lo?" balas Milly memberanikan diri. "Waktu itu ... semua orang di sekitar gue mandang gue sampah. Gue hidup mengasingkan diri dari keluarga gue, gak berani keluar kamar, dan numpang di rumah keluarga supir gue. Pak Tarjo sampai gue melahirkan."

Air mata yang sedari tadi Milly tahan pada akhirnya keluar membasahi pipi Milly. Wanita itu menangis sesegukan. "Kesalahan gue fatal sampe keluarga bahkan nyokap gue gak peduli lagi sama gue tapi saat gue beraniin diri buat pulang dan bilang kalau anak itu udah mati, mereka nerima gue kembali."

"Anak kita?" Jantung Dareen berdegub kencang, tangannya luar biasa gemetar, pikirannya mulai terhubung ke arah anak laki-laki dengan rambut gondrong tak terawat, pakaian kotor yang memunguti satu persatu nasi di tanah depan rumah Pak Tarjo.

"Milly jawab! Anak kita gimana?!" bentak Dareen emosi.

Milly terisak hebat, menunduk dengan tubuh gemetar. "Gue ninggalin dia dari bayi di rumah Pak Tarjo."

Prank!

Nampan dan gelas yang tertata rapi di meja berhamburan. Dareen menutup seluruh wajahnya dengan telapak tangan, matanya memerah, tagisnya pecah. Jadi ini alasan, kenapa hatinya begitu sakit saat melihat anak kecil itu menangis.

"Hey jagoan ... kenapa ibu tadi mukul kamu?  Kamu salah apa? Kenapa kamu gak ikut saudara,  ibu, dan ayah kamu masuk ke  rumah?"

"Karena Emil kotor."

Dareen mengusak frustasi rambutnya menatap Milly yang kembali melanjutkan ucapannya.

"Gue setiap bulan ngirim uang buat anak gue. Berharap Pak Tarjo dan istrinya merawat dia dengan baik tapi ... tapi beberapa hari yang lalu Pak Tarjo masuk penjara." Isakan Milly kian keras terdengar. "Karena diduga melakukan tindak kekerasan pada anak kecil yang ternyata ... anak gue."

"Ini salah gue," isak Milly berulang kali menghapus air matanya. "Gue salah percaya sama orang."

Dareen menghapus air matanya kasar, meraih dengan terburu-buru kunci mobilnya kemudian tanpa permisi ia berlari pergi membuat Milly berteriak memanggilnya dengan frustasi.

Dareen tak peduli, ketika ia sampai di dalam mobil ia melajukan mobilnya kencang. Tujuannya rumah Jessika.

"Kakak tahu haram itu apa?"

"Terlarang," jawab Dareen kala itu membuat bocah di depannya menangis.

"Berarti Emil anak terlarang, ya soalnya kalau Bibi Dina mukul Emil, dia selalu bilang Emil anak haram."

Kenapa Dareen selama ini tak bisa menyadarinya bahwa anak yang selama ini ia cari ada di sekelilingnya, terluka, dan mencoba bertahan dari pahitnya kehidupan. Anak sekecil putranya selama ini di depan matanya selalu mendapat perlakuan keji. Emillio ... di usia belianya, dia sudah merasakan kejamnya dunia.

"Emil bukan anak nakal," gumamnya. "Tapi meskipun Emil gak salah sekalipun, orang-orang seneng mukul Emil kalau mereka lagi marah."

"Karena Emil gak punya Ibu dan Ayah buat bantuin Emil."

Dareen memukul stirnya kuat, air mata tak berhenti bercucuran. Bagaimana bisa ia begitu bodoh dan tak bisa menyadari kehadiran putranya.

Tepat ketika mobilnya sampai di pekarangan rumah Emil, Dareen terburu-buru membuka sabuk pengaman kemudisn bergeas keluar dan berlari ke pintu utama rumah Jessika. Baru saja tangannya mengentuk pintu, ponselnya bergetar di saku celana. Sebuah pesan masuk dari Jessika.

"Sebelumnya maafin gue karena gue gak bisa nemenin lo di hari bahagia lo nanti, Reen. Sudah lama semenjak kita bersama, tanpa gue sadari perasaan nyaman dan senang saat gue sama lo berubah jadi perasaan cinta. Iya, rahasia besar yang selama ini mati-matian gue sembunyiin dari lo adalah ... gue jatuh cinta sama lo. Gue sayang, gue nyaman, dan gue ingin hidup bahagia sama lo. Tapi, itu cuman jadi mimpi gue saat gue tahu, cinta lo cuman untuk Milly. Gue sadar diri, gue berusaha menerima kenyataan meski dengan cara lari. Maaf, Reen meskipun gue udah berusaha tapi gue gak akan pernah sanggup lihat lo bahagia sama wanita lain karena itu gue lebih milih pergi ...."

Dareen merosotkan tubuhnya. Apalagi ini?

~EMILLI0~

Sudah terbongkar. Ada yg kangen Emil?

EMILLIOWhere stories live. Discover now