03. Kepanikan Si Ceroboh

Start from the beginning
                                    

"Iya, Andien yang manis. Itu CEO kita, yang suka marah-marah juga by the way." Tambah Dimas yang memang sering menjadi sasaran kemarahan bos tertinggi itu.

Andien kembali mendudukan dirinya. Apa Pak Dirga marah padanya karena kasus tadi pagi? Andien merasa dirinya terlalu kelewatan, meminta tumpangan dan berbicara seenaknya pada CEO itu. Masalahnya Andien memang begitu, kalau panik suka tidak memikirkan hal lain, langsung melakukan ini itu tanpa sadar.

Niatnya menghindari telat sampai kantor dan diberi surat peringatan, tapi yang didapat malah lebih parah. Dia malah bersikap seenaknya pada CEO perusahaan besar ini, kalau CEO itu mau, dia bisa saja memecat Andien detik ini juga.

"Duh, ini mulut kebiasaan sih ceplas-ceplos. Lain kali intro dulu kek kalau mau ngomong, itu kan CEO ternyata. Kalau gue dipecat, mampus lo gak bisa nyicipin makanan lagi." Omel Andien pada bibirnya sendiri melalui cermin bulat kecil di tangannya.

Ruangan divisi marketing sudah kosong, hanya ada Andien saja. Yang lain sedang di kantin untuk makan siang, sedangkan Andien tidak merasa lapar dan tidak memikiki nafsu makan. Mungkin karena masih gelisah, terpikir tentang CEO itu dan kejadian tadi pagi.

Andien malu, malu sekali. Apa Pak Dirga akan mengingat wajahnya? Apa Pak Dirga akan membeberkan kelakuan Andien tadi pagi kepada seluruh penghuni kantor sebagai hukuman karena sudah bersikap tidak sopan?

Andien menggelengkan kepalanya, berusaha berhenti berpikir buruk. Dia harus berdoa pada Tuhan, semoga saja Pak Dirga itu walau suka marah-marah menurut kata Dimas tadi, siapa tahu dia memiliki hati yang mulia dan mau memaafkan Andien karena semuanya murni salah paham, Andien kan tidak tahu kalau dia itu ternyata CEO.

"Duh, ganteng banget sih ini. Eh-eh, kok kancingnya kebuka?! Ihhh, ih itu senyumnya ngajak berumah tangga banget, ya?!"

Mumpung sepi, gak ada salahnya Andien mulai fangirling-an di depan layar HP-nya. Andien ya sama seperti sebagian besar gadis-gadis seusianya, walau sudah lulus kuliah, tetap saja masih doyan jadi fangirl. Kata Andien sih, selama masih bikin happy ya dijalanin aja.

Saat sedang asik menonton, tiba-tiba deringan telepon mengangetkan Andien. Dia panik saking kagetnya, dia kebingungan juga, meneloh ke arah teleponnya yang tidak mengeluarkan suara dan layar kecilnya juga tidak menyala, berarti bukan telepon miliknya yang berdering.

Kemudian ia berdiri, melewati meja-meja rekannya yang lain sampai ia tiba di meja Dimas. Dia menundukan kepalanya dan benar saja, ternyata telepon di meja Dimas yang berdering.

Andien langsung saja mengangkat telepon milik Dimas, tidak sempat membaca dengan jelas departemen mana yang menghubungi Dimas karena posisi telepon itu berlawanan dengan posisi Andien yang berdiri di depan meja Dimas.

"Sesibuk apa tim marketing sampai tidak bisa mengangkat telepon saya sebelum deringan ketiga, Dimas?"

Andien mengernyitkan keningnya, suara lelaki itu terdengar marah sekali. Andien buru-buru memutar badan telepon Dimas menghadap ke arahnya dan memincingkan mata ke arah layar kecil itu untuk melihat nama departemen yang menghubungi Dimas.

CEO

Andien menutup mulutnya yang sedang menganga dengan telapak tangan kanannya.

Ya Tuhan, Andien seberdosa itu, ya? Sampe segitunya dikasi musibah non stop.

"Saya tidak ingat bahwa perusahaan saya menerima orang bisu."

Andien terkejut lagi, dia sampai lupa kalau dia masih tersambung dengan telepon si CEO itu.

Dia gelagapan, namun buru-buru memaksakan bibirnya berbicara.

"Ma-maaf, pak. Saya pegawai baru disini. Mas Dimas masih di kantin, pak. Jadi saya yang angkat teleponnya."

[6] Stop, Pak!Where stories live. Discover now