29. You Lied

59.8K 6.4K 441
                                    

“You Lied.”

•••••

Senin sudah tiba. Hari dimana yang bekerja mulai kembali mengais rupiah, dan yang bersekolah mulai kembali mengumpulkan ilmu. Sedikit berat dijalani karena hari kemarin baru saja mengistirahatkan diri, tapi tuntutan hidup tidak berhenti di hari minggu.

Andien turun dari sebuah taksi online, berdiri di depan sebuah lingkungan sekolah dasar. Para murid tampak berhamburan di lapangan, sepertinya mereka sehabis melaksanakan upacara bendera. Sekilas mengingatkan Andien pada dirinya saat masih bersekolah di Jogja dulu.

“Tante! Sini!”

Tara Arjaya, keponakan dari atasannya—dalam sudut pandang profesional tentunya, sedang berlari ke arahnya yang baru saja memasuki gerbang sekolah.

Tara memiliki tinggi badan yang cukup melebihi teman-temannya, walau ia masih duduk di bangku kelas lima. Andien rasa itu memang ciri khas keturunan Arjaya. Jika dilihat dari Dirga dan Pevita yang merupakan paman serta bibinya saja Andien sudah bisa menebak bahwa bisa saja ibu dari Tara juga tinggi, bahkan ayah dan ibu Dirga juga tinggi.

Membuat Andien takut kalau dia bisa saja merusak ciri khas keturunan Arjaya jika Dirga menikahi dirinya.

Gadis itu mengumpat dalam hatinya, belum tentu juga Dirga benar-benar akan menikahinya tapi dia sudah memikirkan yang aneh-aneh.

“Tante, ibu kepala sekolah udah nunggu.”

Ah, mari kita lihat, kenapa Andien bisa ada di tempat itu dan dengan terpaksa harus berbohong lagi agar mendapat izin libur?

Kembali pada hari sabtu lalu, dimana Andien berhasil keluar bersama Tara berdua di sore hari. Sebelum pergi dari rumah orang tua Dirga dulu, Andien sempat memberikan nomor teleponnya pada Tara agar gadis kecil itu bisa menghubunginya menggunakan telepon rumah jika butuh sesuatu. Kemudian hari sabtu itu akhirnya Andien mendapat telepon pertama dari Tara. Andien tahu Dirga sedang berada di Surabaya untuk urusan pekerjaan, maka dari itu mereka sepakat untuk pergi bersama.

Saat itu, mereka membeli dua buah kembang gula sebelum memutuskan untuk duduk di sebuah kursi taman.

Andien tahu ada sesuatu yang ingin Tara sampaikan. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang begitu cemas. Anak-anak sulit untuk menutupi ekspresi mereka, maka itulah alasan mengapa Andien bisa menilainya dengan jelas.

Tapi kalau memang anak itu sedang membutuhkan bantuannya, Andien akan dengan senang hati membantu.

Tiba-tiba Tara meronggoh tas selempang berwarna biru langit miliknya, menyodorkan amplop putih yang ia keluarkan kepada Andien. Tentu saja gadis itu dibuat bingung, namun ia tetap menerimanya.

“Ini apa? Buat tante?”

“Surat dari ibu kepala sekolah... buat oma tapi oma sama opa lagi di Singapur.”

Jelas sekali anak itu cemas saat berbicara, dia menunduk dan enggan menatap Andien. Andien rasa telah terjadi sesuatu di sekolah anak itu dan sesuatu itu bukanlah hal yang baik, itu menjelaskan mengapa Tara terlihat sangat cemas.

Akhirnya Andien membuka amplop yang memang tidak direkatkan itu, dibacanya surat tersebut seteliti mungkin, takut melewatkan bahkan satu huruf pun.

Andien menoleh ke arah Tara yang masih menunduk. Itu adalah sebuah surat pemanggilan untuk wali dari Tara. Tentu saja biasanya ibu Dirga lah yang datang, tapi sekarang siapa yang akan menggantikan?

“Udah kasih tau uncle?”

Tara menggeleng. “Uncle pasti marah kalau Tara minta dateng ke sekolah.”

[6] Stop, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang