25. Mana Janjinya?

77.4K 6.5K 323
                                    

“Mana Janjinya?”

•••

Beberapa hari berlalu sejak kepulangan mereka dari Bali. Pekerjaan kantor berjalan seperti biasanya, tidak lupa juga dengan divisi marketing yang menyambut kedatangan Andien dengan ceria, walau tidak tahu bahwa Andien sesungguhnya sehabis dari Bali menemani Dirga.

Waktu itu rencananya akan menambah satu hari lagi di Bali, tapi Dirga merasa bahwa Andien sudah tidak nyaman, pada akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta di keesokan harinya.

Andien pun merasa kali keduanya di Bali sama saja dengan saat dia study tour dulu, tidak bisa menikmati pulau indah itu. Kali ini lebih parah tentunya, karena yang menggagalkan rencana menikmati pulau Bali itu adalah mantan pacarnya yang paling meninggalkan bekas mendalam.

Melihat wajahnya saja, rasanya sudah membuat Andien ingin muntah.

“Aduh, aduh. Nggak kerasa ya minggu depan Mbak Lintang udah nikah aja. By the way, nanti malem gue kirimin ya model kebaya yang bakal kita pake.”

Siapa lagi kalau bukan Pinkan, yang paling heboh sejak beberapa hari terakhir mempersiapkan busana yang katanya harus sama agar terlihat lucu dan kompak untuk divisi marketing. Dimas dan Reno pun pasrah karena juga harus memakai batik pilihan Pinkan.

“Mbak undang satu kantor?” Tanya Andien, penasaran bagaimana pula cara Lintang menyebarkan undangannya tanpa merasa tersipu.

Pasti perasaan Lintang sangat senang, sebentar lagi dipinang oleh laki-laki yang dia cintai. Apa lagi usia Lintang sudah dekat kepala tiga, pasti sudah bosan menyendiri, dan kalau takdir sudah menghampiri, kenapa juga harus menunda lagi?

“Iya, undang semuanya. Undangannya per-divisi sih, jadi nggak ngasih satu-satu orang.”

Kalau Mas Dirga diundang nggak, mbak?

Ingin sekali Andien bertanya, tapi itu sama saja dengan menjerumuskan diri dalam bahaya. Bisa dicurigai habis-habisan dia.

Lagi pula, Dirga sudah pasti diundang, walau menurut mereka Dirga tidak akan datang karena memang dari pengalamam pernikahan-pernikahan staff di perusahaan tersebut menjadi saksi bahwa Dirga tidak pernah datang, kecuali jika jabatan pengirim undangan adalah paling tidak seorang manajer keatas.

Jam menunjukan pukul sebelas, terasa sangat lama menuju jam makan siang menurut Andien. Mungkin karena dia dijanjikan makan siang bersama oleh Dirga hari ini. Pikiran itu membuat Andien merasa tidak sabar.

Tiba-tiba ponselnya bergetar, sejak sedari tadi diam sunyi karena tidak ada pesan masuk.

Saat dibuka, ternyata itu adalah papanya yang mengirim foto selfie di teras rumah dengan marmut peliharaannya. Andien berusaha menahan senyumannya sembari mengetik balasan.

“Andien kira bombom udah meninggal, hehehe.” Kemudian gadis itu menekan tombol kirim.

Bombom adalah marmut yang Andien beli untuk papanya satu tahun yang lalu. Dari pengalaman Andien yang pernah merawat marmut, selalu gagal dan berujung dengan matinya marmut-marmut itu. Tapi papanya adalah penyangang hewan dan sangat pandai memelihara berbagai macam hewan dengan baik.

Entah berapa lama Andien sudah sibuk dengan ponselnya, beberapa rekannya mulai merapikan meja mereka, kemudian Andien memeriksa jam yang ternyata telah menunjukan pukul dua belas lebih beberapa menit.

“Tadi gue telfon mbak kantin, katanya ada cumi-cumi, buruan yuk takut diabisin sama Mang Daus, dia kan rakus bener kalau ada seafood.” Ujar Reno yang sudah berdiri di dekat pintu, paling tidak sabar menyerang kantin.

[6] Stop, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang