44. I Believe in Us

50.4K 3.5K 329
                                    

Sepulangnya Dimas di pukul sembilan tadi, Andien dan Dirga kini diam di ruang tengah dengan TV yang menyala di depan mereka.

Dimas izin pada Dirga secara langsung untuk berangkat kerja terlambat, padahal sudah Dirga usir jam delapan tadi. Tetapi melihat Dimas yang memohon-mohon membuat Dirga merasa geli dan akhirnya ia biarkan saja lelaki itu ikut sarapan dan mengobrol dengan Andien sampai pukul sembilan.

Sebenarnya tidak banyak hal yang Dimas tanyakan pada Andien. Paling-paling hanya berkaitan dengan bagaimana keadaan Andien, apakah dia merasa baikan dan lebih tenang. Sisanya? Dimas dan Andien malah berbincang tentang suatu topik yang hanya diketahui oleh para anak-anak marketing alias dirinya tidak bisa ikut mengobrol.

"Memar di tangan dan kaki kamu, sudah waktunya diberi krim lagi."

Andien berdecak. "Udah nggak berasa sakit lagi, mas." Andien tahu Dirga akan mengatakan itu karena sejak tadi sudah ada obat-obatan di meja kaca depan mereka.

Dirga sepertinya tidak puas dengan respon gadis itu. Ia meraih salep yang sudah diberikan oleh dokter semalam saat Andien tertidur. Lelaki itu kemudian meraih betis Andien dan menariknya perlahan, sekaligus membantu Andien mengubah posisi duduknya menyamping menghadap ke arah Dirga.

Kedua kaki gadis itu sudah dipangku oleh Dirga, tidak bisa protes lagi, akhirnya Andien hanya diam pasrah. Memperhatikan Dirga yang terlihat begitu fokus mengeluarkan isi salep tersebut ke atas ujung jarinya, sebelum akhirnya dioleskan di permukaan kulit pada pergelangan kakinya, berlanjut ke pergelangan tangannya.

Walau niatannya baik dan positif sejak awal, ingin meredakan kemerahan dan memar di kaki gadis itu, bukan berarti Dirga tidak bisa hilang fokus ketika matanya bertemu dengan kulit mulus sekujur kaki hingga paha Andien. Sampai-sampai ia harus berpura-pura berminat dengan layar televisi padahal yang sedang tayang adalah iklan.

"Oh iya, kata Mas Dimas tadi malem mama papanya Mas Dirga dateng. Kok Andien nggak dibangunin aja?" Dirga terpaksa mengalihkan pandangannya dari layar televisi setelah pertanyaan keluar dari bibir gadis itu.

"Menurut kamu?" Dirga berbalik melempar pertanyaan.

Andien memincingkan matanya dan berpura-pura berpikir sebelum ia tersenyum lebar dan berkata, "Karena mas maunya Andien istirahat, kan!"

Andien sejujurnya tidak ingin terlalu percaya diri. Tetapi fakta pagi tadi tentang bagaimana Dirga mengaku dirinya tidak tidur di ranjang karena tidak ingin Andien terganggu saja sudah membuktikan bahwa rasa percaya diri Andien ini memang beralasan.

"Harusnya bangunin aja, tau. Andien kan jadi gak enak sama orang tuanya Mas Dirga."

Sesekali Dirga mengusap beberapa bagian kaki Andien dan sedikit mengurutnya, membuat Andien merasa begitu nyaman.

"Tidak sempat memikirkan itu," jawab Dirga. Bagaimanapun juga, Andien tidak tahu bahwa semalam Dirga bahkan menangis untuk pertama kalinya sejak ia terakhir kali ia menangis, yang tentu sudah lama sekali, mungkin kalau tidak salah ingat adalah saat kepergian adik kembarnya.

Dirga tidak pernah merencanakan atau bahkan berpikir bahwa dirinya akan menangis semalam. Ia sendiri pun masih terheran sampai sekarang, juga tidak bisa mengelak lagi bahwa ia memang sudah terlalu jatuh hati pada gadis ini.

Akhirnya ia sampai pada titik dimana ia ingin menikah. Suatu ikatan yang sebelumnya tidak begitu ia pedulikan, yang terus ia abaikan hingga usianya sudah menginjak kepala tiga. Dia cukup bersyukur sudah dipertemukan dengan Andien, dan lebih bersyukur lagi karena Andien tidak menolaknya. Kalau sampai Andien menolak Dirga, berarti itu akan menjadi sangat memalukan bagi Dirga dan bisa saja menjadi patah hati pertama Dirga.

[6] Stop, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang