MEMORI-10

3 0 0
                                    

"Aduh sorry banget gue lupa." Jawab Vivi.

"Kok bisa lupa?!" Zara tidak peduli bahwa ini di rumah sakit, terlebih tuang rawat. Bukan! Zara bukan lupa. TIDAK PEDULI.

"Berisik Ra nyokap gue lagi sakit."

"Lo pikir gue peduli?" Jawab Zara melipat kedua tangannya ke dada.

"Astaga Ra. Lo bener bener berubah ya. Dulu lo care banget sama nyokap gue. Dulu Lo ngelarang gue buat benci sama dia. Sekarang, lo malah teriak disaat dia lagi sakit." Vivi sangat kecewa dengan perubahan sikap sahabat terdekatnya itu. Disisi lain, Vivi juga takut jika seseorang mendengar pertengkaran mereka. Apalagi jika sampai berpengaruh terhadap perkembangan ibunya. Bukannya minta maaf, Zara malah berkata  "Semua orang kan bisa berubah."

"Iya! Lo udah berubah! Jadi mending lo pergi!" Vivi naik pitam dibuatnya. Vivi sudah menahan emosinya sebisa mungkin, namun nada keras tak bisa ia hilangkan. Vivi mendongak menahan air matanya. Dia berharap Zara sudah membalikkan badannya untuk keluar, namun saat Vivi meluruskan pandangannya, ia malah melihat Zara menaruh sesuatu yang selama ini ia pegang. Rantang makanan.

"Ini! Gue bawain makanan. Dari nyokap gue!" Vivi serasa ingin menangis. Dia sangat suka nasi goreng buatan mamanya Zara. Sekarang mungkin ia takkan bisa merasakannya lagi.

"Gak perlu! Bilang ke Tante Sari kalo gue ga mau nerima tuh makanan!" Muka Zara yang tadinya cuek berubah jadi sedih. Sebentar, bukannya seharusnya Zara marah?

"Ya ampun Vi, kenapa makanannya ga di terima? Terima dong Vi, kasian nyokap gue udah buatin makanannya. Kenapa lo jahat sama gue?" Pinta Zara. Vivi sama sekali tidak bisa menyangka Zara akan berkata sperti itu. Tak lama, Zara berkata lagi, "Lo pikir gue bakal bilang kayak gitu?! Najis!"

"Keluar lo!" Vivi mulai emosi.

"Oke!" Zara membanting pintu kasar. Sedangkan Vivi hanya menangis tanpa suara. Gue ga boleh cengeng! Cih! Ogah lo Vi! Berhenti nangis dong! Bentar lagi Vincent dateng tau! Batin Vivi.

-

"Kak, lo hari ini mau ke mana?" Tanya Vincent di meja makan. Mereka semalam tidak menginap di rumah sakit. Ayahnya melarang mereka. Padahal Vivi sudah bersikeras memohon, tetap saja gagal. Vivi menarik napasnya, "Sekolah." Jawab Vivi seadanya. 

"Iya tau, tapi habis sekolah lo kemana? Rencananya kalo lo free, gue mau ajak lo ke rumah nenek. Nenek kangen katanya." Vivi terdiam sejenak. Dipikirnya, memang sudah lama ia tak mengunjugi rumah neneknya yang terletak tak begitu jauh dari neneknya. Vivi merindukan suasana dimana ia masih kecil, sering dititipkan di rumah neneknya saat orangtuanya sibuk pergi kerja. "Udah lama juga gue ga kesana, gue ikut!" 

"Hai!" Sapa Vivi ramah setelah menurunkan kaca mobil kepada adik kelasnya di jalan. Terlihat dari seragam sekolah yang sama. Lagipula , Vivi pasti mengenal setiap anak yang seangkatan dengannya. Ia yakin gadis polos ini adik kelasnya. "Eh, Kak Vivi." Jawab gadis itu. Vivi terheran, ia sama sekali belum memperkenalkan dirinya, tetapi gadis ini sudah mengetahui namanya. "Lo kenal gue?" Tanya Vivi. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. "Kenal Kak."

Vivi terlihat seperti sedang mengingat sesuatu. Dan sepertinya, ia memang mengingat sesuatu, "Lo? Cewe yang waktu itu bisik bisik tentang gue sama Arka kan?" Setelah melihat dengan jelas, ternyata dia Andin. Masih ingat Andin? "Ah! Iya Kak. Aku Andin." Gadis itu menjawab sambil cengengesan. Dilihatnya oleh Vivi dari atas ke bawah, "Motor lo mogok?" Vivi melihat motor Vespa Andin. Kemudian kembali menatap Andin. "Iya Kak. Gatau kenapa. Tiba tiba aja mogok." 

"Mau bareng?" Tawar Vivi. Gadis itu menggeleng,

"Takut nyusahin kakak. Rumah aku juga lumayan jauh soalnya kak hehehe. Lagian aku juga udah telepon temen buat kesini jemput aku." Vivi tersenyum, "kalimat awal sama kalimat akhir kamu gak sinkron tuh, udah naik aja." Andin kemudian tersipu malu. "Motornya?" Tanya-nya. 

"Sopir gue yang bawa ke bengkel." Vivi mengalihkan pandangan menatap sopirnya, "bapak nggak keberatan kan?" Pak sopir pun menggeleng. Dia kemudian turun dan mengambil alih motor Andin. Vivi pun turun merubah posisinya dan duduk di kursi kemudi.  Setelah dipersilahkan masuk, Andin bertanya, "kakak bisa nyetir?" Tanya Andin di dalam mobil.

Vivi tersenyum, "denger ya Andin, kalo gue gabisa bawa mobil, ngapain gue duduk disini? Lo pikir gue mau jual nyawa lo ke malaikat?" Andin mulai gelalapan, dia sangat menyesal melontarkan kalimat itu. "M-maaf kak." Mereka kemudian bercanda tawa di mobil. Memang, Andin masih sangat canggung dengannya, tetapi Vivi sangat pintar menyesuaikan bahan candaannya dengan orang lain, jadi mereka bisa bercanda layaknya teman. Mereka juga sempat bertukar telepon.

Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Vivi mengambil remote AC lalu menaikkan temperatur nya. Setelah itu ia pergi ke bawah. Membuat matcha hangat dan mengambil sereal oatmeal rasa coklat favoritnya. Setelah itu dia kembali menghadap laptop nya. Siap melaksanakan tugas dari OSIS.

Setelah melaksanakan semua pekerjaannya, Vivi merebahkan dirinya. "Gini amat jadi babu sekolah." Keluhnya. Vivi melirik ponselya. Melihat ada notif dari Reno membuat Vivi kembali bersemangat.

Reno

vi?

Ada apa ren??

cuma mau ngasih tau, besok OSIS pada berangkat.

Waaahh, kenapaa?

pensi. banyak yang harus dibicarain

Cape bgt ya jadi OSIS HAHAHA

makanya jangan jadi osis wkwk

Lo juga jadi OSIS, kenapa??

paksaan nyokap

Aihh

Tak ada balasan lagi dari Reno. Vivi pun memilih turun untuk mencari sesuatu yang bermakna, cemilan. Sereal nya belum habis, Vivi hanya kehilangan selera makan serealnya. Dia juga ingin menambah matcha-nya.

Vivi kembali berkutat dengan layar laptop-nya. Dia memilih menonton YouTube karena dia sedang tidak mood menonton film favorit nya. Setelah bosan menonton YouTube, Vivi memutuskan untuk mengakhiri aktivitasnya dan pergi tidur.

-

Pagi hari telah tiba. Vivi yang hendak mematikan alarm melompat terkejut sembari berteriak saat ada bayangan seseorang di jendela kamarnya. Vivi menutup mata sambil terus baca doa. Setelah cukup lama, Vivi membuka matanya. Dilihatnya bayangan itu sudah tersenyum mengerikan. Vivi kembali berteriak. Vivi berusaha tenang sambil terus berdoa. Dia akhirnya memberanikan diri membuka matanya lagi. Kosong. Vivi membuang napas lega.

Dia kemudian beranjak dari kasurnya, menyalakan lampu kamarnya dan mematikan lampu tidurnya. Setelah lampu menyala, Vivi melihat ke bawah kasur. Dilihatnya gumpalan kertas yang berisi batu. Vivi tidak tahu maksudnya. Dengan modal nekat, Vivi melihat ke arah jendela, menundukkan kepalanya ke bawah, melihat beberapa gumpalan kertas yang sama dengan gumpalan kertas yag sedang ia pegang. Vivi yang penasaran akhirnya turun untuk memeriksanya. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 23, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MEMORIWhere stories live. Discover now