Bangun.

Satu tarikan nafas panjang menyambut kesadarannyaa.

Kali ini ia benar-benar terbangun.
Ya, terbangun dari mimpi buruknya. Mimpi buruk yang belakangan terus berputar secara berulang dalam lelap yang seharusnya menjadi waktu untuk beristirahat. Tatkala ia memejamkan mata, maka ia akan berada dalam lorong hitam yang membelenggu.

"It's sucks,"

"Damn!"

"It's like the hell!"

Setelah puas memaki, Alteir langsung mengusap wajahnya dengan kasar. Matanya mengerjap beberapa kali ketika menyadari kedua tangannya mulai bergetar dan sulit untuk di kendalikan. Dahinya terlipat membentuk kerutan. Berkali-kali ia menarik dan menghembuskan nafas guna menetralkan gerak jantung yang mulai meningkat. Tidak sampai disitu, Alteir mulai merasa kesulitan bernafas ketika sebelah tangannya berusaha menggapai sebuah benda.

"Bun..daa,"

Di detik berikutnya, Alteir kehilangan kesadaran lagi, bersamaan dengan tabung kecil berisi puluhan pil yang terjatuh berserakan di lantai.

••

Sore ini cuaca tampak cerah dengan angin sejuk menghembus. Seorang gadis dengan dress selutut dan rambut panjang yang ia biarkan tergerai tengah duduk di halaman belakang rumahnya seorang diri. Sebuah halaman yang dipenuhi oleh banyak tanaman hijau, rerumputan rapih dan aneka bunga warna-warni.

Jangan tanya mengenai apa yang tengah ia lakukan saat ini. Karena itu, adalah salah satu cara baginya untuk bersantai dan menikmati waktu luang.

Sampai dimana seorang lelaki kini menghambur kepelukannya tanpa aba-aba.

"Eh---,"

Rautnya tampak bingung. Sebelah tangannya mengusap lembut lengan dari sosok yang kini masih menenggelamkan wajah di ceruk lehernya. Ketika ia menoleh ke sisi bagian kanan disitu ia mendapat mahkluk berparas serupa yang tengah memasang tampang sedikit kusut. Dia terlihat khawatir.

"Kenapa?" tanya gadis itu tanpa suara. Hanya menggerakan bibirnya saja.

Sang empu yang menjadi lawan bicara hanya bisa menghela nafas berat.

"Dave," panggilnya lembut. "Dave Stevano. Abang bisa ngomong sama kak Isse sebentar?"

Lelaki itu mendongak sembari mengerjapkan matanya beberapa kali. Terlihat sedikit menggemaskan. Walau dengan postur tubuh tinggi tegap dan jika saja beberapa dari mereka tidak menyadari ada yang salah dari sosok asli pemilik tubuh tersebut.

"Nggak lama kan?" tanyanya memastikan. "Terus Dave tunggu dimana?" Lagi ia bertanya sembari melepas pelukan dari Isse. "Dave nggak mau sendirian," sambungnya.

"Dave takut," cicit lelaki yang kini kepalanya tertunduk.

Mars mengangguk kecil sembari mengulas senyum tipis. Sebelah tangannya terulur untuk mengusak rambut Dave pelan.

"Kasih abang waktu sekitar 15 menit. Nggak usah jauh-jauh, disana aja," telunjuknya mengarah pada sebuah rumah berukuran kecil yang didalamnya terdapat sepasang mamalia berparas elok. "Dave bisa kasih makan kelinci pake beberapa sayuran disana,"

Mendengar hal itu, jiwa berumur 10 tahun itu lantas memekik kegirangan sembari berlari kecil ke tempat dimana kelinci-kelinci imut itu berada.

Untold The DarknessDonde viven las historias. Descúbrelo ahora