Rafael mencintai Selly, dan ia memilih bayi di perut Selly. Bukankah itu benar? Benih yang tumbuh di rahim Queen adalah sebuah kesalahan yang tidak patut dipertahankan. Ya, seharusnya begitu. Namun, hati nuraninya memberontak. Tidak, bayi itu tidak berdosa. Tapi, jika Rafael membiarkannya hidup, suatu saat rumah tangganya dengan Selly akan terancam.

Rafael mengusap wajahnya, meloloskan seluruh pakaiannya dan menjauh dari shower. Lalu, ia membalut tubuh kekarnya dengan bathrobe. Dengan perasaan tidak karuan, ia keluar dari kamar mandi. Matanya tertuju pada Selly yang terlelap di atas tempat tidur.

Meraih ponsel dari atas nakas, Rafael pergi ke balkon apartemen. Menatap kerlip-kerlip lampu di kegelapan ibukota. Tanpa pikir panjang, jari-jari kokohnya mengusap layar ponsel. Menghubungi Aldric.

"Beri aku pekerjaan di New York," ucap Rafael.

"Kau ingin membawa Queen tinggal di New York?"

"Bukan Queen, tapi Selly."

"Selly?" Nada suara Aldric naik satu oktaf.

"Aku membatalkan pernikahanku dengan Queen. Aku bertengkar dengan Papa, dan Papa mengusirku dari rumah."

"Brengsek! Kalau saat ini kau ada di hadapanku, aku sudah menghajarmu sampai babak belur."

"Aku tidak punya pilihan lain. Selly hamil, dan aku harus memilih salah satu di antara mereka."

"Itu salahmu menebar benih di banyak lahan. Dan sekarang kau mengorbankan Queen. Bagaimana perasaannya sekarang? Kau menghancurkan hidupnya, Raf! Arrggh!"

"Kau pikir aku harus menikahi keduanya, hah? Aku tidak ingin mengorbankan anak dan istriku seperti yang pernah terjadi padaku dan Mama! Aku tidak ingin insiden ini terulang lagi!"

"Lalu sekarang kau memilih menjadi pecundang dan kabur ke New York?"

"Memangnya apa yang aku dapat setelah mempermalukan Papa di hadapan umum karena pernikahanku batal? Saat ini hanya kau yang bisa membantuku!"

"Lalu bagaimana dengan Queen, hah?"

"Itu urusanku! Kau hanya perlu memberikanku posisi di perusahaanmu, Brengsek!"

"Dia mengandung anakmu, Raf!"

"Dan aku tidak ingin Joshua kedua terlahir ke dunia."

"Raf, aku ingin membunuhmu!"

"Apa bedanya denganmu? Kau pikir dirimu lebih baik dariku?" Rafael memutuskan sambungan secara sepihak. Dadanya naik turun menahan emosi.

"Raf, kau belum tidur?"

Rafael merasakan sentuhan lembut di bahunya. Ia menoleh dan menemukan Selly tersenyum lembut. Refleks, Rafael menarik tubuh wanita itu dan merengkuhnya erat-erat. Ia mencintai Selly dan bayinya.

***

"Maafkan Mama, Queen. Semua ini salah Mama. Seharusnya Mama tidak memaksamu menikah dengan Rafael." Maura duduk di sisi ranjang, sementara Queen berbaring membelakanginya.

Queen tidak mengatakan apa pun. Sejak tadi siang, ia hampir tidak berhenti menangis. Meninggalkan hotel tempat resepsi dengan hati terkoyak. Rafael melukainya. Terlalu dalam. Sangat menyakitkan. Namun, bagaimana pun juga ia harus kuat demi bayi di dalam kandungannya.

"Bisa beri saya waktu untuk berbicara dengan Queen?" Alexander yang berdiri di dekat tempat tidur, membuka suara.

Maura berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Silakan, Tuan." Wanita itu pun meninggalkan kamar Queen.

Queen mendengar helaan napas berat Alexander, dilanjutkan dengan suara baritone lelaki setengah baya itu. "Atas nama Rafael, aku minta maaf."

Mendengar nama Rafael disebut, hati Queen semakin tercabik-cabik. Tolong, rasanya ia tidak sanggup mendengar nama lelaki itu lagi. Lelaki yang katanya mencintai anaknya, tetapi kenyataannya justru mencampakkannya. Seharusnya Queen tahu, sejak awal Rafael memang tidak menginginkannya.

"Maaf, Queen." Alexander melanjutkan ucapannya lagi. "Aku tidak bisa berbuat banyak. Selly hamil, dan Rafael memilihnya."

Queen menggigit bibirnya kuat-kuat. Cairan bening di matanya mengalir semakin deras. Masih terngiang jelas ucapan Rafael waktu itu. "Aku berjanji, besok pagi aku akan mengakhiri hubunganku dengan Selly. Aku ... mencintai anakku."

Bullshit! Cinta macam apa itu? Kenapa Rafael harus membuat Queen terbang ke atas, untuk kemudian menjatuhkannya dari ketinggian. Sakitnya terasa berkali-kali lipat. Queen membenci Rafael! Sangat membenci Rafael!

"Tapi kau tidak usah khawatir, Queen. Aku akan memberikan santunan untuk anak di dalam kandunganmu. Atas kesalahan Rafael, aku yang akan menanggung biaya kehamilanmu, biaya kelahiran anak itu, dan biaya pendidikannya. Dan aku juga akan mengakuinya sebagai cucuku."

Queen mencengkeram ujung bantal kuat-kuat. "Tidak perlu. Saya bisa membesarkan anak saya sendiri."

"Queen, baru kali ini aku gagal mengendalikan Rafael. Dan aku menyesal. Tidak seharusnya kau menjadi korban atas masalah keluarga kami. Aku harus bertanggungjawab untuk itu. Jaga bayi itu baik-baik. Saat terlahir nanti, kau boleh menentukan pilihan. Memberikan anak itu kepada kami, atau merawatnya sendiri dan kami akan menanggung biaya hidup kalian."

Hening sesaat. Alexander menghela napas kasar. "Sudah malam, beristirahatlah. Jaga dirimu baik-baik. Aku pergi dulu."

Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi 'klik' pertanda pintu sudah ditutup. Queen menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya. Ia mengusap wajah basahnya, ia bosan menangis. Kebencian itu semakin mengakar di hati Queen.

Selly penyebab Rafael membatalkan pernikahannya. Queen memang tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi setidaknya ia ingin memukul wajah Selly untuk melampiaskan kemarahannya. Kalau perlu menjambaknya dan membenturkan kepala wanita itu ke dinding. Queen sudah merasakan sakit, maka tidak adil jika Selly menikmati kemenangannya dengan tawa. Selly boleh menang, tetapi ia juga harus merasakan sakit.

Queen meraih ponsel di atas nakas dan menghubungi Joshua yang saat ini berada di Swiss. Hanya dalam hitungan detik, Joshua menyapanya.

"Halo, Queen?"

"Jo, kau tahu alamat Selly, 'kan?"

"Queen, kau baik-baik saja? Di mana Rafael? Malam ini kalian—"

"Rafael di kamar mandi. Cepat berikan alamat Selly. Besok aku ingin mengirimkan kue untuknya."

"Tapi, kenapa suaramu? Kau terdengar tidak sedang baik-baik saja."

"Aku sedang flu. Rafael tidak suka membahas tentang Selly, karenanya aku meminta tolong padamu."

"Oke, nanti aku kirimkan alamat Selly."

"Thanks, Jo. Selamat malam."

Queen memutuskan sambungan. Tanpa sadar, jarinya bergerak membuka galeri ponsel. Ya, fotonya dengan Rafael masih tersimpan rapi di sana. Mengusapnya perlahan dengan air mata bercucuran. Detik selanjutnya, ia melempar ponselnya hingga membentur dinding. Queen memeluk kedua kaki dan membenamkan wajah di antara lututnya. Menangis sejadi-jadinya.

***

To be Continued
07-10-2020

To be Continued07-10-2020

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



TrappedWhere stories live. Discover now