Part 11

13.7K 1.5K 222
                                    

22 TAHUN YANG LALU

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

22 TAHUN YANG LALU

"Aku tidak suka bermain piano, Pa!" Seorang bocah lelaki berusia tujuh tahun, merajuk pada ayahnya.

"Papa tidak mau tahu. Anak-anak Papa harus pandai dalam semua bidang, termasuk musik. Lagipula, kata Nona Elma kau cepat menangkap apa yang diajarkan olehnya."

"Tapi, Pa! Aku bosan dan−"

"Jangan membantah, Rafael. Papa menginginkan yang terbaik untukmu."

Rafael tidak menyukai alat musik. Ia lebih tertarik mengikuti les berbagai macam bahasa, seperti saran ibunya. Namun, belakangan ini ayahnya justru menambah satu daftar les lagi, yaitu les piano. Padahal Rafael sudah berkali-kali menolak, tetapi ayahnya seolah tidak mau tahu.

Alexander tetap mendatangkan guru untuk Rafael, seorang pianis muda berwajah cantik. Namanya Nona Elma. Semakin hari, Rafael semakin membenci Elma. Bukan tanpa alasan. Rafael tidak menyukai kedekatan antara Elma dan Alexander. Bukan sekali dua kali bocah itu memergoki ayahnya duduk berpegangan tangan dengan Elma.

Bahkan diam-diam Alexander sering mencium pipi Elma. Itu yang membuat Rafael takut jika Elma akan merebut ayahnya. Dan di lain waktu, Rafael melihat ayah dan ibunya bertengkar. Rafael tidak tahu apa yang diributkan oleh orang tuanya. Hanya saja, ketakutan Rafael semakin menjadi-jadi saat sayup-sayup ia mendengar kalimat 'ibu baru untuk Rafael'.

Rafael tidak ingin memiliki ibu baru. Kata temannya, ibu baru itu jahat. Ibu baru juga akan memberikan adik, sehingga ayah akan lebih menyayangi adik daripada Rafael. Yang lebih parah, ibu baru akan memukul Rafael menggunakan sapu.

"Jika kau pandai bermain piano nanti, Papa akan mengirimmu ke Swiss untuk belajar pada musisi-musisi hebat di sana." Alexander mengusap kepala Rafael.

Rafael menunduk, air matanya menetes membasahi tuts piano. Lantas, jemarinya memainkan nada-nada tinggi. "Aku membenci piano!"

***

"Aku membenci piano." Rafael mengakhiri permainan pianonya. Menarik napas panjang, seolah baru saja menahan beban yang begitu berat.

"Tapi permainan Anda cukup bagus," komentar Queen. "Kenapa Anda membencinya?"

"Ada sesuatu hal yang tidak bisa aku ceritakan padamu. Lupakan saja, sekarang aku ingin menikmati permainan pianomu."

Queen dan Rafael duduk bersisian menghadap piano. Akhirnya, setelah puas berdansa, Rafael berhasil merayu Queen untuk pergi ke kamar hotel. Rafael mengatakan jika ia sudah menyewa kamar VIP yang dilengkapi sebuah piano.

Tentu saja, itu hanyalah strategi licik Rafael. Dan bodohnya, Queen sama sekali tidak mencurigainya. Dengan begitu penurut, ia duduk di sisi Rafael dan mendengarkan nada-nada yang dimainkan oleh pria itu. Tidak lama, karena dua menit kemudian Rafael mengatakan jika ia membenci piano.

"Ingin mendengarkan instrument musik box lagi?" tanya Queen.

"Oke. Aku menyukainya."

Queen mulai memainkan jemarinya di atas tuts-tuts piano. Instrumen favoritnya. Mungkin, ini akan menjadi instrument terindah dalam hidupnya, dan Queen bersumpah tidak ingin melupakannya. Nada-nada lembut yang pada akhirnya membuat ia jatuh cinta pada seorang lelaki bernama Rafael.

Ketika nada itu berakhir, Rafael menyentuh tangan Queen dengan lembut. "Aku menyukaimu."

Queen tersentak. Dalam sekejap sentuhan Rafael telah membuat tubuhnya bagai tersengat listrik. Ia bergegas menarik tangannya dan beranjak dari kursi. Menjauh dari Rafael dan berdiri radius lima meter dari pria itu.

"Maaf, sepertinya saya harus segera pulang."

"Kau baru saja menelepon ibumu dan mengatakan akan menginap di tempat Nara. Kita masih memiliki waktu beberapa jam ke depan untuk menikmati kebersamaan kita."

"Maaf, Tuan. Saya membuat kesalahan. Tidak seharusnya kita berada di tempat tertutup seperti ini." Queen meremas jemarinya. Matanya nanar menatap Rafael yang kini mendekat ke arahnya.

"Apa yang salah? Kita sudah dewasa, dan kita saling memiliki ketertarikan khusus."

"Ketertarikan khusus? Sepertinya Anda salah mengira."

"Bibir manismu memang mudah menyangkal, tapi lain halnya dengan matamu. Kau menatapku dengan tatapan memuja."

Queen menggeleng, cepat-cepat berlari menuju pintu dan berusaha membukanya. Namun, percuma, karena Rafael telah terlebih dulu menarik tubuhnya lantas memagut bibirnya. Memberontak pun tidak berguna. Rafael dengan begitu erat merengkuh Queen.

Sial! Pagutan bibir Rafael sedikit demi sedikit mampu melumpuhkan Queen. Ciuman Rafael kali ini berbeda dengan ciuman malam itu. Jika dulu Rafael melumatnya dengan lembut, maka malam ini Rafael memagutnya dengan penuh gairah. Dan Queen pun tahu, Rafael telah menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya.

Lantas, Queen bisa apa? Sesuatu yang ditawarkan Rafael terlalu nikmat untuk diabaikan. Bukankah ini rasa penasaran yang selama ini membuat Queen terus memikirkan pria brengsek itu? Ya, dan pria brengsek itu mampu dengan mudahnya membangkitkan sisi liar Queen yang tersembunyi. Hanya dalam hitungan detik, Queen melupakan akal sehatnya.

Sebuah kegilaan yang tidak pernah terpikir dalam benak Queen, kali ini lengannya mengalung di leher Rafael dan untuk pertama kalinya ia membalas pagutan seorang lelaki. Rasa nikmat itu semakin menggila, menyusup ke dalam molekul-molekul terkecil di dalam tubuh Queen.

Rafael bersorak dalam hati, kelincinya telah berhasil ia taklukkan. Tinggal selangkah lagi, dan ia akan mendapatkan apa yang dia mau. Yakinkah ia melakukan ini hanya karena Joshua? Entahlah, Rafael sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya. Jika ini hanya sebuah permainan, lalu kenapa ia begitu menikmati ciumannya dengan Queen.

Rafael sering berciuman dengan Selly, bahkan berkali-kali tidur dengan wanita itu. Akan tetapi, apa yang Rafael rasakan dengan Queen sangat jauh berbeda. Dengan kata apa Rafael harus menyebutnya? Ah, rasa itu sulit dijabarkan dengan kata-kata. Yang ia tahu, saat ini ia begitu bergairah dan tidak sabar ingin cepat-cepat berlanjut ke tahap selanjutnya.

Tepat sekali, Rafael tidak merasa kesulitan saat menggendong tubuh Queen dan meletakkannya di atas ranjang. Gadis itu pasrah, hanya mampu menatap Rafael dengan mata sayunya. Ingin menolak? Sayangnya akal sehat Queen sudah dikuasai oleh hawa nafsu.

Akhirnya, Queen pun memberikan kuasa penuh pada Rafael untuk bergerilya di atas tubuhnya. Membiarkan jari-jari kokoh itu menari-nari di permukaan kulitnya, sentuhan yang memberikan efek besar bagi tubuh Queen. Sentuhan pertama yang membangkitkan gairahnya ke level tertinggi. Gadis itu mengerang.

Desahan lembut yang semakin membuat Rafael tidak sabaran. "Malam ini, kau milikku," bisik Rafael tepat di telinga Queen.

Napas Queen terengah-engah. Dan akhirnya, semua pun berlalu begitu cepat. Saat tubuh keduanya tidak lagi terbalut pakaian. Rafael menatap Queen yang berada di bawah kungkungan tubuhnya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya seraya memalingkan wajah yang sudah merona.

Argh! Ingin rasanya Rafael berteriak sekencang-kencangnya. Satu, karena sisa-sisa nalurinya memberontak, tidak tega jika harus merenggut kesucian gadis polos itu. Dua, ia tidak mungkin mundur lagi, karena pusat tubuhnya sudah berdenyut nyeri dan menginginkan sebuah pelepasan.

"Maaf," ucap Rafael, ia merunduk untuk kembali mencium Queen, lantas memposisikan dirinya di bagian bawah sana.

Queen berteriak saat Rafael bergerak di atas tubuhnya. Ia merasakan perih di sana. Akan tetapi, Rafael tidak mungkin berhenti, lelaki itu terus bergerak hingga akhirnya ia menembus sebuah batas. Ia telah benar-benar menjadi pemenang karena telah menjadi lelaki pertama bagi Queen.

Sementara Queen mencengkeram punggung Rafael kuat-kuat. Air mata meleleh di pipinya. Rasa perih itu telah menyentak kesadarannya. Ia melakukan kesalahan, karena telah menyerahkan mahkotanya yang paling berharga, pada seorang lelaki asing yang belum lama dikenalnya.

***

To be Continued
03-09-2020



TrappedWhere stories live. Discover now