Dulu

13 1 0
                                    

Kita pernah asing, lalu menjadi saling, dan akhirnya kembali asing.

Benar bukan? Kita pernah sedekat itu, namun dengan salah apa kita menjadi seasing ini. Salah siapa?

Kenapa bisa? Aku belum terima. Aku belum bisa menerima fakta bahwa aku sedang dilupakan. Sedangkan kamu selalu aku perhatikan. Seolah, aku tidak pernah menjadi bagian besar dalam hari-harimu. Seolah apa yang kita lewati, tidak ada maknanya.

Harusnya, kita tidak bertemu waktu itu kan? Harusnya memang seperti itu. Jadi, tidak akan ada aku yang menunggu sekacau ini. Tidak akan ada kamu yang menurutku seegois itu. Tidak.

Dan benar saja, selalu menerimamu sudah menjadi kesalahan terbesarku. Dan aku menyesali itu.

Seandainya, melupakan tidak membutuhkan waktu selama itu, aku pasti sudah berhasil melupakanmu. Melupakan manusia yang mengingatku saja tidak. Hah! Rasanya ingin tertawa keras. Menertawakan semua kenyataan yang ada.

Di beberapa waktu, aku sering mengelak. Tidak terima kenapa aku sendiri bisa sejatuh ini pada manusia sepertimu. Sia-sia. Buang-buang tenaga. Percuma.

Berteriak di depan wajahmu adalah hal yang ingin sekali aku lakukan. Ingin ku bacakan semua rasa yang telah aku lewati sendiri. Ingin ku teriakkan semua kebingungan yang menumpuk selama ini. Ingin ku lemparkan semua mimpi buruk yang menghadirkanmu di setiap malam di bulan ini.

Kamu, apa kamu sebuta itu?

Patah berulang-ulang, namun selalu menerimamu kembali. Betapa bencinya manusia ini terhadap dirinya sendiri.

Dulu, aku pernah sebahagia itu. Sekarang, sepatah ini aku pernah.

Nanti, dan di hari-hari setelahnya. Bila kita dipertemukan semesta di ruang dan waktu yang sama, aku sudah melupakan fakta bahwa aku pernah sedekat itu mengenalmu. Bahwa aku pernah sesabar itu dengan sikapmu.

Sudah dipastikan, aku melupakanmu saat itu.

Kita Dalam AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang