Cokelat Hangat

43 8 7
                                    


Segelas cokelat hangat membawaku terlempar pada ingatan sore itu. Untuk kesekian kalinya, kita duduk bersisian di penghujung dermaga. Senyummu selalu saja merekah dari wajah yang cerah. Tak pelak, jantungku bergejolak. Perahu, tepi pantai, dan langit jingga milik senja menjadi saksi kala aku yang jatuh cinta.

Senyum ceria dan tertawa, kita bersama, menghadap lensa. Entah tawa nyata atau sandiwara, aku tak apa. Aku hanya duduk diam tanpa suara, menatapmu yang berulang kali memperbaiki posisi kamera. Langkahmu bagaikan angin rindu yang menyeretku  untuk bertemu. Tapi mana mungkin semestamu beririsan denganku. Alasan klise: aku bukan sesuatu bagimu.

Cokelat hangatku habis. Namun aku malah terlempar pada ingatan ketika kita duduk sebaris. Bagiku, itu kenangan manis. Di batang kayu besar, tepi pantai. Pandangan kita satu arah, pantai, laut dan langit yang megah. Aku membatu. Kau di dekatku, namun rindu dan sendu menggerogoti hatiku. Aku pilu. Inderaku tertuju pada laut yang betemu darat, menderu. Barang sebentar, inderaku beralih pada suaramu yang menggetar. Aku enggan melihat kanan, karena sekali saja aku melakukan, dunia akan tau bahwa kau yang ku dambakan. Ku nikmati saja senja, sebagai pangalih perhatian.

Hari mulai petang. Bintang mulai muncul dengan sinar benderang.

“Sudah malam, mari pulang”.

Ajakanmu tak membuatku ingin berlalu. Aku masih ingin menetap dan menatap. Kau sudah melangkah, meninggalkanku yang masih penuh harap dalam resah.

Ingin ku bilang, “Tunggu aku”, namun lidahku kelu.

Aku tertampar keadaan yang membuatku semakin sendu. Aku bukan sesuatu bagimu, hanya angin lalu, yang takkan membuatmu merindu. Aku bergerak turun, mengkuti jejak kakimu yang tercetak pada pasir abu-abu. Ku genggam tangan ringkihku dalam bisu.

Aku baru saja menemukan, tapi aku sudah merasa kehilangan. Helaan napasku terasa berat, sedang malam sudah semakin pekat. Aku kemudian memutar langkah, kembali ke tempat senyummu tadi sore merekah. Aku tak ingin kembali. Karena saat aku kembali ada rasa yang harus patah dan nanti ku sesali. Aku tak mau jatuh lagi.

Aku baru saja bertemu rumah untuk pulang. Tapi kamu enggan menerimaku datang. Malam semakin larut, namun aku tak peduli pada takut. Aku hanya ingin menatap langit malam dan bintang, sebagai penawar atas rasa yang tak terbalaskan. Aku tau ini kesalahan, tapi aku terlalu takut berhadapan dengan kenyataan.

pada fajar di pagi hari
aku menitipkan hati
agar hangat oleh cahaya mentari
dan tersampaikan padamu sebagai pengawal hari


Bima Sakti, 2018.

Kita Dalam AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang