Perihal Mencintai dan Memberi

17 1 0
                                    

Perihal mencintai. Banyak sekali bentuknya. Namun yang ku tahu, mencintai selalu tentang rindu, setelah itu peduli yang terlalu, dan yang paling tinggi adalah mampu menyebut namanya dalam do’a-do’amu.

Selain itu, mencintai membuatmu ingin mengetahui apa mimpi dan harapannya, ingin berbagi waktu dengannya, ingin tertawa bersama dengannya, ingin berlari bersama mencapai tujuan-tujuan hidup kalian berdua−hingga bisa mengeluh lelah bersama, serta ingin menjadi rumah untuk satu sama lain di dunia.

Tapi bagaimana jika hal-hal tersebut hanya sekedar pengharapan semata? Bagaimana jika cintamu sepihak?

Aku baru ingat, bahwa hal mendasar yang dilakukan oleh seseorang ketika mencintai adalah menyembunyikan perasaannya. Ya, terlalu banyak manusia yang melakukannya. Begitu pun kamu. Rasa cinta membuatmu bingung harus bersikap bagaimana padanya. Selanjutnya, kamu khawatir bagaimana jika ia curiga pada sikapmu yang tiba-tiba berbeda. Rasa khawatirmu makin tumbuh, didukung dengan kamu yang mulai merasa bahwa kalian makin berjarak jauh. Kamu yang bukan lagi pengisi pesan di telfonnya, kamu yang sekarang merasa ia tidak pernah mencarimu lagi−dan kamu yang akhirnya sadar cintamu sepihak.

Hari-harimu berikutnya diisi dengan lagu-lagu patah hati, kutipan-kutipan galau yang senada dengan perasaanmu yang kemarau, tulisan-tulisan buku harian yang penuh kerinduan dan yang paling pedih, menangis setiap kali bangun di pagi hari.

Rindu dalam jiwamu mengamuk sejadi-jadinya sebab tadi malam kamu bermimpi tentangnya. Kamu dirundung dilema, ingin menyapanya atau tidak. Kamu merasa ditinggalkan, padahal semesta sedang berbaik hati untuk menyadarkan. Kamu juga tiba-tiba menjadi pemarah. Mengutuk dan menuntut kenyataan agar bisa berbalik sesuai yang kamu minta. Kamu marah dan meminta agar ia merasakan apa yang kamu rasa. Agar ia merasakan rasa sakit yang kamu derita akibat mencintainya.

Kamu mengerti, bahwa ia tidak pernah memintamu untuk mencintanya. Namun kamu dengan gengsi, bertahan pada opini, bahwa ini adalah bagian dari akibat eksistensi. Karena selain dibenci, manusia juga memungkinkan untuk dicintai.

Lalu kamu terluka oleh harapan sendiri. Serta dipatahkan angan-angan yang terlau tinggi.

Sampai pada hari di mana kamu akhirnya menyadari. Bahwa mencintai sejatinya adalah memberi. Dan kamu ingat, sejak kecil kita diajarkan untuk memberi dengan ikhlas. Dengan tulus. Tanpa pernah mengharapkan balasan.

Begitupun kebenaran yang ada pada cinta. Kamu mencintainya dengan sungguh tanpa pernah berharap memilikinya utuh.

Namun kamu mengingat sesuatu, kata orang, hakikat memberi adalah menerima. Kalau begitu, jika kamu memberi cinta, maka kamu akan menerima cinta bukan?

Tapi bukan seperti itu cara kerja semesta. Benar jika kamu memberi cinta, kamu akan menerima. Namun bukan menerima hal yang sama, tetapi menerima bahwa kamu sudah lebih dewasa. Tidak memaksakan kehendak lagi. Tidak keras kepala lagi.

Bukankah kamu bahagia jika manusia yang kamu cintai bahagia? Pada akhirnya, kebahagiaan sejati adalah ketika kita memberi, bukan menerima.

Kita Dalam AksaraDär berättelser lever. Upptäck nu