Rindu

50 1 0
                                    

Setiap senja, ada yang selalu berbisik tanpa suara. Mengungkapkan rindu yang terlarang baginya. Menahan tiap jemari agar tidak bergerak menyapa. Memaksa logika berkuasa atas hati yang dia punya.

Satu, dua, hingga puluhan hari terhitung dengan jari. Memenjara diri agar tidak melukaimu dengan perasaan yang menjulang akibat sepi. Membunuh setiap tunas rindu yang mencoba tumbuh. Memangkas setiap ranting pilu yang mencoba beradu.

Kadang dia terbangun sambil merutuk diri. Baru saja, kamu hadir dalam mimpi. Dia tidak suka, sebab itu pertanda bahwa kamu terlalu meraksasa di angkasa.

Bukan tanpa sebab ia menahan perasaan. Para pemendam harus beradu dengan banyaknya kenyataan dan kemungkinan. Pantaskah? Tepatkah? Baikkah? Atau segala kemungkinan lain yang bahkan tidak terjangkau oleh kita.

Belum lagi hitungan tentang masa lalu. Baru beberapa hal saja sudah membuatnya mengulur kaki ke belakang, membiru. Babak belur oleh kenyataan yang tanpa belas memukuli hingga langit tersisa abu-abu.

Sampai pada senja kesekian, dia mulai mengakhiri sebab nalurinya menyadari.

Tak apa, jika jatuh sendiri. Hanya ingat, tak ada yang boleh menaruh harap agar perasaan tersambut uluran tangan. Boleh saja mengagumi. Tapi batasi dengan kata sendiri. Atau jika menyukai, itu juga baik-baik saja.

Namun beranikan diri, menatap tanpa lekat. Termakan jarak yang takkan mau mendekat. Sekejap. Sendiri dan selalu bersikap, tidak terjadi apa-apa pada keadaan yang setia menyekat.

Kita Dalam AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang