Dan kebahagiaannya akan semakin lengkap ketika bayi di perutnya terlahir. Queen tersenyum, mengusap perutnya dengan lembut. Suatu saat, bayi ini akan tumbuh besar, jika laki-laki pasti wajahnya tampan seperti ayahnya, dan jika perempuan maka akan menjelma menjadi gadis cantik. Kira-kira, wajah siapa yang lebih dominan, Queen atau Rafael? Yang jelas, perpaduan dari bibit unggul pasti akan menghasilkan kualitas terbaik.

Queen meraih ponselnya dan membuka galeri. Senyumnya semakin lebar saat menemukan fotonya bersama Rafael. Mendadak ia teringat momen terakhir kali ia tidur bersama Rafael. Pagi itu, Queen terbangun saat merasakan usapan lembut di perutnya.

"Selamat pagi," ucap Rafael sembari terus mengelus perut Queen.

Jari-jari Rafael membuat Queen merasa nyaman. Tetapi, Queen tidak perlu membalas salam Rafael, karena ia tahu lelaki itu hanya menyapa bayinya.

"Kau terlihat menggemaskan saat sedang tidur," ujar Rafael lagi. "Aku sudah tidak sabar bayiku terlahir dan aku ingin menciumi wajahnya."

"Anda masih harus menunggu delapan bulan lagi." Queen menarik selimut untuk menyembunyikan tubuh tanpa busananya.

"Hemmm ... sepertinya aku perlu mengabadikan momen penting ini. Kita perlu foto bersama setiap sebulan sekali. Untuk kenang-kenangan saat aku mengucapkan selamat pagi pada anakku pada saat dia masih berada di dalam perut ibunya. Dia harus tahu bahwa ayahnya sangat mencintainya."

Rafael beringsut dan mengambil ponsel dari atas nakas. Lantas, mengaktifkan fitur kamera sembari mendekatkan diri pada Queen.

Queen semakin merapatkan selimutnya, menatap kamera dengan tidak nyaman. "Bisa singkirkan ponselnya? Saya baru bangun tidur."

"Apa masalahnya? Justru saat bangun tidur, seseorang memancarkan inner beauty-nya." Tidak menghiraukan Queen yang memprotesnya, Rafael mendekap wanita itu dengan sebelah tangan. Dalam hitungan ketiga, wajah bersisian mereka sudah diabadikan kamera.

"Sudah, satu kali saja."

"Hei, bayiku harus membiasakan diri berada di depan kamera. Saat dia besar nanti, akan ada puluhan kamera pers yang mengarah padanya. Dia bukan anak sembarangan. Aku menurunkan darah biru padanya." Sekali lagi, Rafael mengambil angle terbaik, mengecup pipi Queen dan dalam hitungan detik keromantisan itu terpampang nyata di dalam foto.

"Cukup, jangan lagi."

Rafael beringsut menjauh, menggulir layar ponsel dan mengecek hasil bidikannya. "Walau kau cemberut, tapi foto ini tidak terlalu buruk. Pasti anakku yang memancarkan aura di wajahmu. Aku akan mengirimkan foto ini ke ponselmu."

"Anda berlebihan, Tuan. Janin ini bahkan masih berupa segumpal darah, tetapi Anda begitu membanggakannya seolah dia Presiden Amerika."

"Dia bahkan lebih hebat dari Presiden Amerika. Kau tahu, rasa trauma masa kecilku masih membekas sampai sekarang. Dan aku tidak ingin dia merasakan hal yang sama sepertiku, karena itu aku akan membahagiakannya mulai dari sekarang."

"Tetap saja, bagi saya Anda terlalu berlebihan."

"Sudahlah, toh itu tidak merugikanmu. Fotonya sudah kukirim ke ponselmu. Jangan dihapus, kapan lagi kau bisa mendapatkan foto terbaik, ini momen satu bulan anakku."

Oke, kembali ke dunia nyata. Queen mengusap wajah tampan Rafael di layar ponsel. Ah, setelah prosesi pernikahan usai, Queen bisa menatap lelaki yang dicintainya hampir setiap detik. Lalu, setiap pagi ia bahkan bisa menyentuh bulu-bulu halus yang tercukur rapi di wajah berhidung mancung itu. Kebahagiaan yang sempurna.

Queen melirik jam dinding. Tinggal menunggu hitungan menit. Ayolah, ia sudah tidak sabar ingin melihat Rafael dalam balutan tuxedo putih serta jas hitam dengan setangkai mawar di sakunya. Rambutnya yang acapkali berantakan, akan ditata rapi.

Satu menit kemudian, ponsel di tangannya berdering. Nama Rafael terpampang di layar. Tanpa sadar, Queen tersenyum. Apa Rafael juga sedang memikirkan Queen dan menelepon untuk mengatakan, 'Aku sudah tidak sabar ingin mengecup keningmu. Kau pasti terlihat cantik dengan gaun pengantin yang aku pilihkan.'

"Halo," sapa Queen. Hening, tidak ada jawaban. Senyum Queen semakin lebar, barangkali Rafael gugup sehingga kehilangan kata-kata. "Halo, Tuan Rafael?"

Lima belas detik berlalu dan Rafael masih menyukai keheningan. Hingga di detik ke dua puluh, suara baritone itu terdengar. "Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini."

Refleks, senyum di bibir Queen memudar. "Maaf, apa saya salah dengar?"

"Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini."

Lalu, sambungan telepon terputus. Queen mematung di tempatnya. Masih belum percaya dengan pendengarannya. Siapa pun, tolong katakan jika Rafael hanya berbohong! Atau ini hanya prank seperti yang sering ia lihat di social media, setelah ini Rafael pasti akan datang bersama keluarganya, lantas memberikan sebuah buket bunga untuk Queen. Benar, 'kan?

Queen merasakan dadanya begitu sesak. Tangannya gemetar, terulur ke meja untuk meletakkan ponsel. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan tangis. Akan tetapi, percuma. Buliran-buliran bening itu meluncur deras membasahi gaun pengantinnya. Apakah semuanya harus berakhir sampai di sini?

***

To be Continued
03-10-2020

Kalau udah penasaran, kalian bisa baca duluan di KaryaKarsa. Atau bisa juga beli ebook-nya di Play Store. Chat aku langsung juga boleh

❤️❤️❤️

❤️❤️❤️

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


TrappedWhere stories live. Discover now