Hei, wanita mana yang tidak tergoda melihat lelaki berahang tegas itu? Bersiap menghangatkan teman tidurnya dengan kedua lengan kokohnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hei, wanita mana yang tidak tergoda melihat lelaki berahang tegas itu? Bersiap menghangatkan teman tidurnya dengan kedua lengan kokohnya. Argh! Queen membenci pikirannya yang mulai berkelana. Mungkin seharusnya ia kabur daripada harus terperangkap oleh gairah yang ditawarkan Rafael.

"Kenapa hanya berdiri di situ? Naiklah, kau tidak sedang berencana untuk melarikan diri, 'kan?" Rafael menepuk sisi kanan ranjangnya.

"Emmm ... saya—"

"Pintu sudah terkunci dan hanya aku yang bisa membukanya."

"Saya tidur di sofa saja."

"C'mon! Apa perlu kuberitahu jika aku sudah mulai ketergantungan pada bayiku dan tidak bisa tidur tanpanya?"

"Tapi—"

"Aku tidak suka dibantah," gerutu Rafael dengan suara serak.

Selalu tidak ada pilihan bagi Queen selain menuruti keinginan Rafael. Ia kembali melangkah dan sesaat ragu untuk naik ke atas ranjang. Tatapannya tertuju pada tubuh Rafael yang bertelanjang dada, selimut membalut kakinya sampai sebatas pinggul. Haruskah Queen menyelinap ke balik selimut yang sama dengan Rafael? Bagaimana jika lelaki itu tidak mengenakan pakaian sehelai benang pun? Ah, pikiranmu, Queen!

"Boleh saya minta selimut lain?"

Rafael mengacak rambutnya. "Astaga, Queen? Apa hidupmu serumit itu? Kau tinggal naik ke ranjang dan tidur di sebelahku. Simple, bukan? Untuk apa repot-repot mencari selimut lain jika aku saja bisa menghangatkanmu."

Oke, Queen tidak mengerti. Apa Rafael memang semudah itu mengucapkan setiap kalimatnya? Rafael mencintai Selly, lalu dengan santainya berkata sesuatu yang bisa memancing hasrat wanita di hadapannya. Ah, mulut lelaki memang manis tetapi mengandung racun mematikan.

"Saya haus, boleh minum dulu?"

Rafael menghela napas kasar. Wanita ini hampir membuatnya kehilangan kesabaran. Rafael pun turun dari ranjang dan membenarkan posisi boxer-nya yang terasa sesak. Oke, harus ia akui jika beberapa detik lalu, Queen telah berhasil memantikkan hasratnya.

Rafael menuang air putih dari botol ke dalam gelas, lantas mengulurkannya pada Queen. Queen menerimanya dengan tangan gemetar. Tanpa membuang waktu, Queen meneguk cairan itu hingga tersisa setengahnya.

"Terima kasih." Queen meletakkan gelas di atas meja.

Rafael menyambar gelas itu dan meneguknya hingga tandas. "Rasanya lebih nikmat," ucap Rafael sembari menampakkan seringaian lebarnya. Matanya berselancar menjelajahi tubuh Queen dari atas sampai bawah, terpaku sebentar pada sepasang kaki jenjang dan pahanya yang mulus. Lantas, mata tajam itu meluncur tepat ke bagian dada yang naik turun dengan cepat, seiring napas Queen yang memburu. Rafael yakin, Queen juga sedang berhasrat kepadanya.

Gairah tidak membutuhkan cinta. Benar, bukan? Jangan salahkan Rafael jika hanya dalam hitungan detik akal sehatnya sudah dikuasai hawa nafsu. Dia seorang lelaki. Dan di hadapannya, berdiri tegak seorang wanita yang selama ini selalu menjadi imajinasi liarnya. Bidadari tanpa sayap itu hadir untuk merubah imajinasi menjadi sesuatu yang nyata.

"Saya mengantuk, boleh saya tidur dulu?" Queen membalikkan tubuh, bersiap berlari ke atas ranjang untuk menyembunyikan tubuh di balik selimut. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat Rafael bergerak lebih cepat mendekap tubuh Queen dari belakang.

"Tentu saja, tapi nanti. Setelah kau membantuku meredakan hasratku." Rafael berbisik di telinga Queen, lengan kekarnya melingkar di pinggang ramping wanita itu. Usapan lembut di bagian perut ia tujukan untuk menyapa calon anaknya.

Rafael meletakkan dagu di pundak Queen. Perlahan, jari-jari kokohnya merayap ke kancing kemeja yang dikenakan Queen dan membuka tiga kancing teratasnya. Lantas, dengan gairah yang semakin meluap-luap, tangannya menyusup ke dalam sana. Menyentuh sesuatu yang begitu menggoda. Dan Queen hanya terpaku, sentuhan Rafael membuatnya tidak berdaya.

Merasa tidak mendapat penolakan, Rafael mulai berani memberikan gigitan kecil di leher Queen. Desahan wanita itu semakin membuat Rafael bersemangat. Dengan sekali hentak, ia memutar tubuh Queen dan menangkup wajahnya. Redupnya cahaya tidak mampu menyembunyikan rona merah di kedua pipi wanita itu. Sementara, bibirnya yang setengah terbuka, seolah menantang Rafael untuk segera mencumbunya.

Tunggu apa lagi? Bukankah keduanya saling menginginkan? Tidak ada gunanya menahan hasrat yang memuncak, karena pada akhirnya mereka tidak kuasa untuk kembali terjebak dalam situasi yang sama. Dan mereka menyukainya.

Lalu, ketika Rafael menyatukan bibir mereka berdua, dalam sekejap akal sehat itu menghilang. Lenyap tidak berbekas. Bahkan, mungkin mereka tidak peduli lagi siapa yang menjadi partner dalam menuntaskan gairah itu. Entah seseorang yang dicintai ataupun bukan.

Semua berlangsung begitu cepat, hingga mereka tidak lagi mengenakan busana. Di atas ranjang, Rafael mengungkung tubuh Queen. Setelah puas meninggalkan jejak kepemilikan di mana-mana, lelaki itu memposisikan diri tepat di bagian bawah sana. Menenggelamkan dirinya jauh ke dalam tubuh Queen, bersama-sama mencari kenikmatan yang memabukkan.

Ruangan yang semula sepi, berubah gaduh oleh desahan dan erangan. Queen mencengkeram punggung Rafael kuat-kuat, entah sudah berapa kali Rafael membawanya ke puncak kenikmatan. Dan Rafael dengan begitu berhati-hati—mengingat ada calon bayi—tidak pernah lelah menggerakkan tubuhnya. Semakin lama, ia mempercepat gerakannya.

Argh! Queen yang membalutnya dengan begitu panas, dan cengkeramannya yang begitu erat, akhirnya membuat Rafael kalah setelah berkali-kali mendapat kemenangannya. Lagi, ia menumpahkan cairan panasnya di dalam sana.

Tubuh berkeringat Rafael ambruk, setengah menindih tubuh Queen. Tanpa berniat melepaskan penyatuan mereka, Rafael berbisik di telinga Queen dengan napas terengah, "Aku berjanji, besok pagi aku akan mengakhiri hubunganku dengan Selly. Aku ... mencintai anakku."

***

Keesokan harinya, Rafael menepati janji. Mengungkapkan keinginannya untuk berpisah dengan Selly. Dan sudah bisa ditebak, Selly tidak bisa semudah itu menerima keputusan Rafael. Wanita itu menangis dan meraung.

Meski Rafael merasa iba, ia tidak ingin merubah keputusannya. Mungkin, saat ini Selly menangis, tetapi Rafael yakin jika suatu saat nanti Selly akan menemukan pengganti yang lebih baik. Bukan seperti Rafael, lelaki brengsek yang tega mengkhianati kekasihnya.

Rafael merasa terluka? Ya, tentu saja. Bukan hal mudah meninggalkan wanita yang bertahun-tahun mewarnai hari-harinya. Ah, tidak apa. Ini yang terbaik, karena suatu saat akan ada bayi yang terlahir dan menangis membutuhkan dekapan hangat Rafael. Jelas, bukan? Dalam situasi seperti apa pun, tidak ada yang dapat mengubah fakta jika bayi itu adalah darah daging Rafael.

Mencoba mengabaikan kenangan bersama Selly, Rafael menyibukkan diri mempersiapkan pernikahannya dengan Queen. Hingga dua minggu kemudian, satu hari menjelang hari H, Selly meminta Rafael untuk bertemu lagi. Ada hal penting yang ingin disampaikan.

"Jika kau hanya ingin membujukku untuk membatalkan pernikahan, aku tidak akan berubah pikiran. Anakku akan menjadi prioritas utamaku," ucap Rafael setibanya di apartemen Selly.

"Kau sangat mencintai anakmu?" Selly mengusap cairan bening di pipinya. Mata memerah dengan kelopaknya yang sembab.

"Ya, aku harap kau mengerti. Untuk terakhir kali, aku ingin menawarkan padamu. Berapa uang yang kau butuhkan? Ingin mobil baru? Rumah baru?"

Selly menggeleng lemah. Tubuhnya yang terlihat semakin kurus, bersandar di punggung sofa. "Aku tidak menginginkan semua itu. Aku ... menginginkanmu," lirihnya, hampir tidak terdengar.

"Berapa kali harus kukatakan, Sel? Aku tidak bisa memilihmu. Aku—"

"I'm pregnant," potong Selly dengan nada datar. Satu kalimat yang cukup meruntuhkan dunia Rafael hanya dalam hitungan detik.

***

To be Continued
30-09-2020

TrappedWhere stories live. Discover now