Sepucuk Surat Misterius

5K 466 10
                                    

Ayu menggantungkan handuk di tepi jendela, berniat mengeringkan kain basah yang kami gunakan untuk mengeringkan tubuh selepas mandi.

Aroma sejuk dan dingin menyeruak. Belum lagi suara angin malam terdengar ribut bahkan setelah kami memasuki asrama.

Aku menyalakan layar ponsel untuk melihat waktu, dan baru menyadari handphone ku sudah low bet sejak kemarin. Pada akhirnya, aku memilih melangkahkan kaki ringan menuju lemari untuk mengambil mukenah berwarna suci.

Selesai shalat Isa aku dan anak-anak yang lain harus bersiap-siap untuk esok hari mengajar para santriwati. Seluruh isi tas siap untuk dibongkar. Mempelajari buku-buku yang hendak diajarkan.

Setelahnya aku memilih telentang di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar yang teramat gelap. Setiap malam sebelum tidur, aku sering terdiam cukup lama. Mengingat-ingat kembali kejadian di masa lalu. Hingga nyeri di dada, luka yang tak ingin pudar menciptakan dua tetes air mata yang mengalir perlahan.

Emak sering menemukanku terisak sendiri di dalam kamar, namun ia tidak pernah bertanya apa yang terjadi, justru beliau memilih membiarkanku sendiri. Lagi pula, jika Emak bertanya, sungguh aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Air mata itu menetes begitu saja, sebelum akhirnya aku tertidur lelap bersama cahaya bintang yang tak mampu menembus dinding kamar.

Dinginnya angin subuh menyadarkanku dari tidur bersama mimpi buruk yang tak seharusnya singgah. Mimpi buruk yang datang dari masa lalu, di mana teriakan sakit menggema, meronta, menerjang para lelaki biadab yang membuatku lupa bahwa tidak semua lelaki itu sama.

Tidak ada masjid yang dapat ditemui di desa yang terletak di pedalaman hutan ini. Adapun mushallah di pesantren ini sudah terbengkalai, entah apa gerangan penyebabnya mushallah itu tidak lagi terpakai.

Anak-anak yang lain masih tertidur lelap, ada dua hal yang membuatku ragu untuk membangunkan mereka. Pertama, tidak akan ada yang bangun meski aku berusaha semaksimal mungkin. Kedua, aku tidak pernah melihat Ayu, Aqila dan Zea melaksanakan shalat yang membuatku ragu untuk mengajak mereka berjama'ah.

Samar-samar kudengar percikan air dari luar. Siapa lagi dia kalau bukan Husna. Dia memang wanita yang sholehah, yang membuatku iri akan ketaatannya.

Setelah selesai mengambil air wudhu, aku mengenakan mukenah yang kusimpan rapi di dalam lemari.

"Husna," panggilku lirih saat dia hendak melaksanakan shalat.

"Ada apa Dinda?" Sahutnya.

"Aku akan jadi makmum," kataku berdiri di belakangnya.

Husna tersenyum kecil seraya mengangguk pelan.

Dunia gelap perlahan-lahan mulai terang. Malam yang mencekam ternyata telah berakhir. Kata Emak, berdoa di waktu subuh dapat menenangkan jiwa. Aku suka sewaktu Emak dan almarhum Bapak selalu setia memberikan satu cerita bagaikan dongeng sebelum tidur. Mengisahkan para sahabat nabi, wanita suci bernama Fatimah, serta para pejuang pembela Islam.

Hari ini kami akan melakukan sesi foto bersama, sekiranya selepas KKN nanti ada kenang-kenangan untuk bernostalgia. Semua santriwati berbaris di belakang. Memperlihatkan senyum mereka selebar mungkin. Sehingga mereka terlihat seperti anak-anak yang telah menerima kebahagiaan.

Dibarisan paling tengah aku merangkul dua santriwati bernama Cika dan Intan. Cika si gadis berkulit putih sedangkan Intan gadis si hitam manis. Semua menghitung mundur dari angka tiga, hingga kamera menangkap foto 124 santriwati dan juga sepuluh mahasiswa dan mahasiswi.

Setelah pulang dari KKN, aku akan menggantungnya di dinding. Aku pasti sangat bangga, jika suatu hari nanti para santriwati ini bisa menjadi penerus bangsa yang taat dengan syariat-syariat agama Islam.

Misteri KKN ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora