7.

304 80 31
                                    


Rasa penasaran Nila tak dapat dibendung lagi. Ia menghampiri Kak Dika dan orang tersebut yang berada di luar pintu.

"Siapa, Kak?" tanya Nila pada Kak Dika. "Eh, ada om Danang."

Ternyata itu om Danang― Ayahnya Danil. Pantas saja suaranya tak asing di telinga Nila. Tapi ada perlu apa ya beliau kemari dan ingin menemuinya.

"Ada apa, Om?"

"Eh, enggak apa-apa kok, Nil."

Om Danang seperti menutupi sesuatu dari Nila. Tapi tak Nila permasalahkan. Lebih baik ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang lagi-lagi tertunda.

"Eh ... mau ke mana lo? Tolong masakin air dong. Gue mau mandi tapi dingin," ucap Kak Dika pada Nila. Padahal ia belum sampai ke ruang belakang, tapi lagi-lagi pekerjaannya harus tertunda kembali. Heran, kalau seperti ini kapan selesainya dong?

Nila mencoba bersabar, mungkin dengan cara seperti ini keluarga mereka bisa harmonis― tentu saja dengan adanya Nila. Bukankah pengorbanan itu tak ada yang mudah? Maka dari itu kesabaranlah yang melingkupinya.

"Iya, Kak."

"Lagi ngapain, Nil?" Tiba-tiba saja Kak Diki sudah ada di belakangnya. Kak Diki berpakaian begitu rapi sekali. Sepertinya akan pergi ke acara penting.

"Eh, ini gue mau masak air buat Kak Dika mandi. Kak Diki mau kemana? Rapi banget, wangi juga deh. Pasti mau ketemu cewek ya? Hayo ngaku," ucap Nila mencoba bergurau. Tapi Kak Diki hanya mengibaskan tangan lalu bergerak menuju kulkas. Kebiasaannya sekali mencari camilan terus.

Kak Diki mengambil puding lalu menikmatinya di depan Nila, tanpa memberi ataupun menawarinya. Dasar nyebelin. "Mau dong, Kak. Enak banget, ya?" tanya Nila sambil menatap Kak Diki.

Bukannya menjawab, Kak Diki malah tak menghiraukannya dan tetap menyantap pudingnya sendirian hingga habis tak bersisa. Ya sudah, Nila pasrah. Aku bikin saja nanti sendiri. Enggak akan aku kasih siapa-siapa. Hanya untukku.

"Cepet ganti baju terus dandan yang cantik, gue tunggu sekarang."

Terkejut, tentu saja. Kenapa pula Kak Diki tiba-tiba bicara seperti itu. "Gue masih ada kerjaan nyetrika, Kak. Dari tadi belum beres nih," alibi Nila. Masa iya Kak Diki mau pamer ke orang-orang kalo gue ceweknya.

Apa sih lo mikir enggak jelas banget.

"Oke, gue tunggu jam 7 malem. Awas aja sampe enggak. Gue dah rapi-rapi gini masa iya harus batal," gerutu Kak Diki. Lantas ia pergi meninggalkan ruang belakang. Menyisakan Nila seorang diri.

Nila menghampiri Kak Dika di kamarnya untuk memberitahu bahwa airnya sudah siap. Setelah itu Nila melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda sejak tadi.

***

"Kita ngapain kesini sih?" ujar Nila sambil menyeruput jus melon kesukaannya. Ternyata Kak Diki mengajak Nila ke sebuah cafe. Entah apa motifnya mengajak Nila ke sini. Ia pun masih kebingungan.

Disela menyeruput minumannya, Kak Diki tersenyum. "Ya enggak apa-apa, gue cuma pengen ada waktu ngobrol berdua sama lo. Cerita-cerita deh, gue lihat lo tertekan banget sama sikap mama."

Nila menghela napas lesu, "Gue bukannya enggak mau cerita, Kak. Tapi kalo gue cerita yang ada gue malah sedih rasanya. Makanya sebisa mungkin gue cuma diem ... walau sakit sih hati gue."

"Ya udah kalo lo enggak mau bahas tentang mama. Cerita apa gitu gue pengen denger, jangan pendem semuanya sendiri, Nil. Kita makhluk sosial yang saling membutuhkan."

DifferentWhere stories live. Discover now