7 - Masalah! Ada-ada Aja

41 19 2
                                    

Langit biru berlapis awan putih tampak begitu murung. Matahari seakan-akan tak bersemangat untuk menampilkan teriknya, bersembunyi di balik gumpalan-gumpalan asap, bahkan malas meski hanya untuk menyapa pagi. Begitu pun manusia yang berada pada naungan hangatnya, menyambut dengan menutup mata, tetapi sekali ini bulir air jatuh dari pejamannya. Perasaan yang seharusnya bahagia menggebu, kini hanya ada letusan haru. Raga telah berhenti berpacu pada waktu, ia telah habis mempergunakannya hingga saatnya mempertanggungjawabkan.

Wajah yang telah keriput terlihat sayu, sinar bahagia yang aku lihat beberapa hari lalu pun seolah-olah memudar karena kabar duka itu. Ibunya kakek, wafat pada usia tujuh puluh delapan tahun dan berada pada jarak yang sulit ditempuhnya. Kesedihan mendalam itu berlangsung lama.

Kakek dan nenek pulang, tidak dengan motor yang dikendarai saat mereka pergi ke Bandung, tetapi dengan mobil berwarna hitam. Mobil yang tidak aku ketahui jenis dan bentuknya. Setelah pulang malam itu dengan langit bersahaja penuh bintang-bintang, angkot yang dihuni hanya dua orang penumpang, dan keadaan jalanan kota tengah ramah tamah. Aku sampai pukul setengah delapan, dua puluh lima menit perjalanan. Bibi-bibi yang tengah berkumpul di ruang tv, seperti menyambutku. Memberi kabar bahwa nenek dan kakek langsung berangkat ke Bandung setelah menerima kabar duka.

Sebetulnya, jika aku boleh jujur. Mereka sama sekali tidak kelihatan sedih atas berita kematian itu. Cucu tidak begitu dekat dengan neneknya adalah hal yang wajar apalagi tidak pernah tinggal serumah, tetapi melihat raut wajah kekhawatiran mereka. Aku gentar, memilih duduk di depan kamar yang pintunya kubuka.

Bi Ika yang duduk di dekat pintu kamarku bergeser, memilih ke tengah berhadapan dengan Bi Ema dan Bi Iya yang duduk berdekatan. Dia mulai angkat bicara, suara cemprengnya tetap tidak terkontrol padahal jarak mereka terhitung dekat. "Ika mah sieun si Abah teu konsen¹. Keliatan gelisah kitu², Teh Iya," tuturnya melihat kepada bibi tertua, yang hanya duduk diam dengan kaki bersila. Ah, jadi kakek memaksakan kehendak untuk langsung pergi tanpa meminta izin. Ok, paham. Iya sih, itu kan motornya sendiri, minta izin ke siapa dan siapa yang berani melarangnya coba? Lagi pula, siapa yang bisa berpikir jernih saat panik, apalagi kehilangan orang tua yang sudah lama tak ditemui?

"Tadi ge, ku Ema dilarang. Bisi arek dianterkeun atau naik bus ameh aman, tapi da embungen³."

"Nya, paur we Ika mah⁴!"

"Yaudah, ayeuna mah doakeun we. Sing salamet dugi ka tujuan sareng salamet tiasa uih deui. Bae we, da eta mah kahayang abahna°¹." Percakapan pun ditutup dengan kalimat bijak Bi Iya. Adik ibuku satu itu memang kalem, bicara paling santai, kegiatan apa pun dikerjakan dengan lihai, seperti ahlinya. Sebelum aku hendak bertanya pukul berapa kakek berangkat, Bi Ema memberi kode untuk aku mengikuti, ke kamarnya.

Tanpa basa-basi, dia menyerahkan dompet berwarna pink abu dengan hiasan kucing emas berbahan lentur dan mudah rusak, terlihat hiasan itu terlipat di sana-sini dan warna emasnya terkelupas. Dompetku, dompet siapa lagi memangnya. Aku meraih lalu mengabaikannya tetap bertengger di genggaman, tidak berani membukanya untuk alasan yang banyak. Akan tetapi, sosok dengan rambut panjang sebahu itu pun seperti tahu apa yang aku lakukan, dia tak memerlukan alasan.

"Uangnya diambil semua buat ongkos ke Bandung. Nanti kalau bibi udah gajian, langsung diganti."

Badanku lemas dengan kata 'diambil semua' berarti ada kurang lebih tujuh ratus ribu tergerus habis. Aku diam, hanya menjawab iya dan berlalu sebelum kata-kata Bi Ema kembali membuatku terdiam. "Ntong libur ceuk euma, nyaah.°²"

"Moal, butuh duit abi ge°³—"

"Emaaa!" teriak Bi Ika sebelum aku menyelesaikan kalimatku.

"Abah jeung euma ka°⁴ serempet mobil!"

Begitu kejadian tadi malam sampai kakek menaiki mobil itu. Nenek memberi kabar bahwa mereka hanya luka ringan dan menyuruhku untuk mengabaikan ini dan tetap bekerja. Kalian tahu? Sesuatu yang aku tidak suka itu apa? Dipaksa bekerja saat tubuh dan pikiranku benar-benar lelah dan dipaksa tersenyum saat aku sudah melakukannya, tetapi untuk diriku sendiri.

Mataku tertuju pada dua manusia yang sudah memberiku makan agar tetap hidup di dunia ini. Sosok wanita gemuk itu masih bisa berjalan seperti biasa, hanya saja tangan kirinya diperban. Namun, sosok kurus di belakangnya tengah dituntun Bi Ema dan suaminya. Lecet di seluruh tangan masih terlihat, perban yang digunakan hanya untuk menutup luka besar. Celana bahan biru dongker yang dilipat sampai ke paha menampilkan luka-luka yang sama, kaki pincangnya bertambah pincang. Pelipis dan wajah sebelah kiri juga memiliki baret. Aku memalingkan wajah tak sanggup melihat mereka.

Bi Iya menepuk pundakku, menyadarkan aku agar tetap menyambut mereka. Aku memalingkan wajah padanya, dia tersenyum dan mengganti tepukan tadi jadi belaian lembut. "Jangan nangis, istighfar, sebentar lagi juga sembuh." Kira-kira begitulah maksud dari tatapannya.

Kami masuk setelah nenek dan kakek sudah merebahkan diri. Laki-laki jangkung, rambut cepak, berkulit sawo matang, berkameja wana putih dengan salur merah yang tadi ada di belakang kakek, memberikan beberapa lembar uang pada Bi Ema tepat di pintu masuk dan berlalu pergi. Aku hanya tahu bahwa dia yang menyerempet kakek dan nenek. Aku bersyukur bahwa orang itu tahu apa arti dari tanggung jawab.

__________________________________________

¹) Ika mah sieun si Abah teu konsen: Ika takut kalau Abah gak konsen/fokus.
²) Kitu: Gitu
³) "Tadi ge, ku Ema dilarang. Bisi arek dianterkeun atau naik bus ameh aman, tapi da embungen." : "Tadi udah Ema larang. Takutnya mau diantar atau naik bus biar lebih aman, tapi ya gak mau."
⁴) Nya, paur we Ika mah : Iya takut aja Ika.
°¹) ayeuna mah doakeun we. Sing salamet dugi ka tujuan sareng salamet tiasa uih deui. Bae we, da eta mah kahayang abahna: Sekarang tinggal doa, selamat sampai tujuan dan selamat sampai balik lagi ke sini. Toh, itu kan udah kemauan Abah.
°²) Ntong libur ceuk euma, nyaah.: Jangan libur, sayang!
°³) Moal, butuh duit abi ge: Enggak akan, perlu uang aku juga.
°⁴) Abah jeung euma ka serempet: Abah sama euma ke serempet.

NB: angka 5 gak bisa dipakai kuadrat.

Edrea Ivona [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang