15 - Ramadan

20 11 0
                                    

Bulan seribu berkah datang menyapa. Raja bulan yang begitu ditunggu-tunggu seluruh umat manusia telah hadir. Mengingat pelajaran di MA Amal Islami dulu, setiap kali memasuki bulan Ramadan kegiatan siswa semakin padat, bukan malah berkurang apalagi diadakan liburan.

Pak Abe kadang mengeluh tentang ini, kerap kali aku dan teman-teman berbincang setelah pelajaran TIK, mata pelajaran yang diajarkan olehnya, tentang sekolah kami. Baik dan buruknya. Nah, hal yang buruk hanya satu di mata kami—para guru juga—yakni waktu sembilan jam di sekolah. Ketika sekolah bernuansa islami lain hanya sampai pukul dua siang, kami sampai jam empat sore. Itu pun harus menyelesaikan salat berjamaah dan alma'tsurat terlebih dahulu. Namun, dengan kenyamanan dan fasilitas sekolah yang baik, membuat kami nyaman di sana selama kurang lebih tiga tahun.

Kehidupan kerja untukku tak jauh berbeda. Tiga hari pertama puasa, kami masih leha-leha dan pulang jam lima sore, itu artinya uang makan pagi dan siang terhapus. Buka puasa di rumah itu menyenangkan. Apalagi waktu puasa bisa tidur itu enak, tetapi sepertinya itu tidak mungkin. Waktu berjualan yang katanya paling ramai, bahkan ke mushola lama aja dimarahin apalagi libur.

Memasuki hari keempat kami memulai perang itu. Heboh! Lima orang di toko dengan teriakan tawar-menawar, lempar barang, awut-awutan, formasi acak-acakan, begitulah fakta yang opininya sudah ditata dari beberapa Minggu lalu. Salat Zuhur pun seakan-akan tidak tenteram, ketika bacaan yang biasa kubaca perlahan sambil membenahi panjang dan pendeknya menjadi tak berirama. Gerakan kuusahan tumaninah seolah-olah terlalu sulit.

Deretan notifikasi menampilkan beberapa acara buka bersama, padahal Ramadan baru dimulai.

REZNITION 🌸
[Hayu ih, jadikeun!] Keke
[Iya dmna?] Dwi
[Dimana dulu? Hayu aja aku mah] Elvira

Trio jalur bawah. Aku merindukan masa itu. Magrib tinggal menghitung menit, Bos Subhan tengah beristirahat di kursi putar kebanggaan anaknya. A Umay dengan empat laki-laki lain tengah menggoda wanita-wanita yang lewat berombongan. Kadang berteriak minta nomornya atuh, teh. Itu juga sudah membuat suasana menjadi hidup.

Kualihkan fokus kembali ke layar hand phone.

[Ayam Geprek Bensu deket selamet.] Lulu
[Boleh, ih. Hayulah gas!] Shella
[Hayu ikut, enggak?] Yuli
[Hayu ikut?] Nas
[Hay, ikut yu ih] Shella
[Aku mah gak akan ikut reuni akbar ah. Malu.] Lulu
[Aku pun] Shella
[Aku ge] Keke
[Aku juga] Elvira

Ah! Hampir lupa, jika reuni akbar dari angkatan satu sampai sembilan digelar bulan Ramadan ini. Aku sudah pasti tidak akan ikut dengan keadaan pasar yang padat begini, kalau pun belum bekerja aku pasti juga tak akan ikut. Sebuah keyakinan selalu merasuki pikiranku yang negatif semakin negatif pada hal berbau perkumpulan. Pertanyaan menusuk selalu bisa membuat kita yang lemah baterai menjadi down dan akhirnya drop, jika tidak diisi daya yang benar, maka akan mati. "Kuliah ke mana kalian?", "Ih, harus dong. Kan, pemerintah udah memudahkan kita dalam dunia pendidikan. Sayang kalau enggak dipakai."

Kalau omongannya dibalikin gimana? Kenapa kakak belum nikah? Eh, hati-hati lho udah umur segitu belum nikah. Ntar, nganu!

[Maaf teman-teman. Toko lagi ramai khalayak. Hahah]
[Gak ikut aku. Ikut kenyang aja. Mumpung libur puasa.]
[Haha]

Dalam seminggu di bulan Ramadan aku selalu telat buka toko. Meskipun datang tepat pukul tujuh sama sekali tidak lebih, A Umay sudah standby dengan tangan satunya bertumpu pada patung tinggi di depan, tak lupa kaki yang dilipat, ditambah mimik wajah terbingkai topi membuatku semakin muak. Dengan segalanya yang telah selesai, benar-benar telah selesai sampai aku malu dengan ejekannya. Kamvert! Liat aja nanti lebaran, gak akan aku maafin!

Tutup toko menjadi pukul sembilan, dimulai di hari keenam, kemarin. Menu buka di pasar begitu bervariasi. Terlalu banyak pilihan untukku memilih menu buka apa yang akan aku minum untuk ngabatalan¹ puasa. Pun dengan teman-teman yang lain, mereka menyukai masakan yang berbeda serta beraneka ragam. Sekali dayung dua pulau terlampaui, sekali langkah menuju lokasi kuliner tiga sampai empat toko kukunjungi. Begitu peribahasanya.

Bulan Ramadan juga sebagai petunjuk dan obat, terkhusus untukku. Bagaimana rasa monoton hilang karena setiap harinya ada saja yang perlu untuk diubah. Bulan ini juga pertama kali untukku berbuka puasa bersama orang-orang baru dan berbagai khasnya yang sangat tidak diminati, olehku. Dua teman laki-laki yang jaga di ruko atas ada di sini. Hanya tiga hari saja aku sudah hapal tabiat mereka yang ... usil. Bagaimana tidak? Setiap ada gadis cantik yang auratnya terekspos mereka ngomong asal ceplos, bercanda jangan berlebihan, Bro.

Bulan puasa identik dengan ... kesibukkan. Aku sekilas lupa bahwa aku memiliki teman yang kemarin menjadi penghangat hati yang dingin. Aku sekilas lupa kalau hidup itu memiliki perubahan.

Mas Ody menyapa malamku, setelah mengaji aku dan dia kadang berbincang lewat chat, kadang berbincang lewat telepon. Keluarganya hanya tinggal tiga orang, bersama adik dan ibunya ini kali pertama Ramadan tanpa sang ayah. Beberapa kali dia memberi tahu padaku bahwa Mas Ody sangat merindukan sosok laki-laki yang sangat dihargainya itu.

"Allahu Akbar, allaahu Akbar!" seruan dari Allah untuk beribadah asar lewat muazin itu berkumandang. Salah satu dari kami langsung pergi meminta izin ke kamar mandi, agar semuanya kebagian untuk salat tepat waktu. Kemarin Bos Subhan salatnya mendekati magrib, setengah enam mungkin. Alhasil, kami harus rusuh untuk bergerak cepat gantian.

Aku kebagian giliran ketiga. Saat dua ibu-ibu yang kuladeni benar-benar jadi membeli. Yeaay! Aku senang aku bisa tidur terlebih dulu. Namun, setelah beberapa langkah, Bos Subhan pun keluar akan melakukan salat juga.

Hancur lebur harapanku!

__________________________________________
¹) Ngabatalan: Berbuka puasa

Edrea Ivona [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang