20 - Ivona

18 10 0
                                    

Aku? Aku kuliah? Elvira memberikan informasi valid yang tercantum di website kampus. Jelas, nama Sherly Lituhayu tercetak jelas di sana dengan poin yang pantas. Untuk jalur tahfidz dengan pesaing 347 orang, namaku tertulis di pertengahan itu sudah termasuk baik atau rerata. Elvira dengan bangga mengakuiku sebagai adik tingkat, mengumumkannya pada teman-teman di REZNITION 🌸 tentang ini. Bahkan, Laila dan Nudia tidak tahu kalau aku melakukan tes di kampus yang sama dengan mereka. Ilmu mimikri dari Elvira memang keren, sudah teruji ampuh padahal waktu kemarin aku melihat mereka mengobrol di kantin kampus. Lucu jika mengingat hal di Bandung kemarin.

[Chukahae beb!] Dwi
[Selamat, ya Hay!] lulu
[Eh, jangan Hay. Dia memperkenalkan dirinya pakai Sherly tau 😂😂] Elvira
[Cieee pesyen baru. 😬😂 Wkwk.] Lulu
[Ayok, hey. Susul Hayu kita yang belum kuliah. Masih di buka, lho.] Elvira

Dia melakukan promosi.

[Masuk September] Elvira
[Kali aja masih bisa terima tes, kan] Elvira
[Selamat ya Hay. Ciee dapat uang jajan dari pemerintah] Nudia

[Mengirimkan pesan suara 00.13] Sherly Lituhayu.
Aku terkekeh lebih dulu karena tahu tanggapan mereka tentang itu.

[Buseeeh! Menjengkelkan dia. Gedeg kok aku]
[Yak! Jinjja ah.] Keke

[Mengirimkan pesan suara 04.03] Sherly Lituhayu

[Buka duluan dong, hey. Agak panjang tuh vn. Takut suara motor lagi. 🤧🤧] Keke

[Sama-sama, Hay. Semangat, ya!] Elvira
[Bener kan kt ibu kepala sekolah kita. Allah tuh gak tidur, pasti ngabulin keinginan kita.] Dwi
[Kalian kapan nyusul?] Dwi

[Doain aja, Nud] Lulu
[Ayok, berdoa bersama. Monggo KangNas, musiiik. Eh, doaa] Dwi

[Kalian berisik!] Laila

Gubrak! Dasar anak-anak gila semua. 16 orang aja udah ribet gini grup tuh, apalagi 160 orang. Yakin aja, hpnya hang terus. Btw, terima kasih atas dukungan kalian. Aku bisa menjejakkan kakiku dengan ringan untuk melangkah di atas muka bumi, hari ini.

***

Bi Iya meminta maaf padaku karena baru bisa membayar utangnya, 750 ribu. Beliau juga meminta maaf masalah kartu KIP yang digunakan pendidikan anaknya. Terdengar egois saat pendengaranku benar-benar tak sehat, alasannya seperti di luar nalar. Mereka bekerja, bagaimana mungkin tak bisa mengumpulkan uang dalam waktu yang lama. Apalagi, kerja di pabrik itu enak perihal tunjangan, tidak hanya pribadi, keluarganya juga.

Namun, keadaan menuntutku untuk menyambar maaf dan mengembalikannya. Toh, kini aku tinggal memikirkan bagaimana kehidupan di kuliah nanti. Tak mungkin aku meminta kiriman biaya, kan? Sebelum tanggal 2 September aku harus mempunyai pekerjaan paruh waktu agar bisa sambil kuliah.

"Pak. Hayu mau berhenti kerja. Alhamdulillah udah keterima kuliah di Bandung," cakapku.

Laki-laki itu bertaut kening, apa mencari karyawan masalah yang begitu rumit baginya? Bos Subhan melihat arloji di pergelangan tangan kanannya kemudian menatapku. Akhir-akhir ini sepertinya orang begitu menyukai bersinggungan dengan wajahku.

"Kuliah di mana? Kenapa gak ambil kuliah malam aja? Jadi masih bisa kerja." Pertanyaan disertai pernyataan itu membuat mataku terbelalak. Ya, kali aku enggak mikirin itu sebelumnya.

"Hayu udah keterima di Bandung gratis, Pak. Kalau di sini enggak keterima. Di Bandung juga insyaallah bakal cari kerja." Aku ingin mengajukan ini sebelumnya, tapi semoga kata-kataku enggak salah letak. "Kalau sepupu Hayu kerja di sini enggak apa-apa, Pak? Mamang tapi."

Mimik wajah Bos tak bisa diartikan lalu dia berujar datar, "Udah pernah kerja enggak?"

"Pernah, Pak. Dulu juga pernah jualan baju di pasar. Kalau bap—"

"Coba aja ajak dulu," potongnya. Sue! Aku belum selesai bicara padahal. Dasar bos!

"Besok Hayu ajak, Pak."

"Hayu kuliah kapan?" tanya saat aku akan beranjak.

"Dua Minggu lagi, Pak. Ada apa?"

"Enggak apa-apa, berarti satu Minggu ini tetap kerja, kan? Itung-itung buat bekel?" Amboy ... pengertian sekali Bos. Terima kasih!

"Makasih, Pak."

Gamang hati sudah tak ada, kebimbangan jua tak lama berganti keyakinan. Sugesti buruk lebih parah dari kehilangan rasa cinta. Kenangan buruk mungkin bisa tertutup dengan hal baik di kemudian hari. Namun, sugesti buruk yang tidak diperbaiki sekarang akan membuatmu tidak percaya pada hari baik yang akan datang, kau tak akan percaya perubahan, Mas Ody kata. Ya, kami kembali berhubungan.

Kata-kata penyemangat dari orang-orang yang mendukung dan memotivasimu memberikan acuan sederhana pada keinginan terkuatmu untuk mencapainya. Makanya, di sinilah aku sekarang di depan rumah tanpa halaman yang di depannya ada ember-ember berisi tanaman lidah buaya. Mengetuk pintu rumah itu, berjalan masuk dan bercengkerama to the point. Suami Bi Iya setuju atas usulanku untuk ikut bekerja di pasar.

"Besok datang aja ke toko. Nanti diajarin sama A Umay."

"Nuhun, Hay." Aku pamit. Bukankah aku harus berbenah mulai sekarang.

***

Bandung kota. Kali kedua menapakkan kaki di sini, bedanya hari ini aku tidak sendiri. Nenek dan kakek ikut untuk melihat tempatku, menemui saudara-saudaranya di Bandung. Aku diminta menemui sang ketua asrama untuk mengambil daftar teman sekamar. Di temani Elvira aku menemui Teh Desi, wanita pemakai kacamata dengan kumis tipis mirip Iis Dahlia, cantik. Apalagi kulitnya yang putih, hiasan sederhana pada wajahnya membuat sang ketua terlihat anggun.

Aku sudah membayar administrasi, membayar asrama dan SPP untuk tahun pertama. Kak Desi menginformasikan program beasiswa yang biasanya sering keluar, aku diminta siap sedia dan tak melupakan persyaratan yang ditakutkan tertinggal di Sukabumi. Untungnya, ada orang dalam yang memberi tahuku sebelum ini. Jadi, semua persyaratan aman. Satu hal lagi, orang-orang di sini ramah dan saling berbagi. Meski aku cukup takut, setidaknya kekhawatiran itu cepat terpatahkan.

"Ayok bermimpi agar besok bisa mewujudkannya." Teh Desi menyemangati. Sloga itu membuat pipi tembamku semakin mengembang.

Edrea Ivona [Completed]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن