19 - Tumpah Ruah

17 8 0
                                    

"Bohong, kan? Kamari¹ ka mana?" tanya Nenek dengan nadanya yang naik pitam. Aku gusar, tak memberi tahu mereka karena aku yakin tak akan diberi izin, tapi jika berbohong lagi itu sama saja menggerogoti hati sendiri.

"Daftar kuliah ke Bandung."

"Beraninya main pergi aja. Kalau ada apa-apa di jalan gimana? Kan, tetep keluarga juga yang kena imbasnya? Bandung teh jauh, enggak kayak ke Cisaat," cerca Nenek. Deru obrolan dari belakang terdengar panca inderaku.

"Kan—"

"Naon? Harus punya rasa takut jadi cewek tuh. Main pergi gak bilang, di tanya ke sini ada di mana, pada bilang gak tahu. Ada yang tahu, tapi bohong. Jangan sekali-kali lagi, ngapain nyari yang jauh-jauh."

"Di sini susah! Tahun lalu aku ikut bidik misi, nenek bilang kita enggak punya kartu KIP, yang punya cuma Bi Iya. Aku udah bikin SKTM karena aku kira kita emang gak punya. Tapi—" Kering! Kerongkonganku terasa perih, tapi perjuanganku enggak boleh terhenti sampai sini. Meski kulihat semua orang menatap padaku, aku tidak acuh lagi. Sudah muak rasanya.

"Nenek punya! Kartu itu dikasih ke nenek, tapi dilempar kepemilikan. Untuk apa? Aku juga butuh! Hayu butuh!" Aku ikut terkesiap saat tanpa kusadar aku membentaknya. Dia, nenek yang merawat dan memberiku makan. Air mataku jatuh. "Sampai akhirnya Hayu kerja. Seperti kemauan Nenek, tapi mana hasilnya? Kalau bukan sembunyi-sembunyi uangnya pasti habis lagi dipakai buat minjemin mereka—"

"Hayu!" Suara bariton kakek membuatku diam. Aku menunggu, apa pun yang ingin disampaikan atau dilakukan. Meski itu sebuah tamparan, wajahku memang layak mendapatkannya.

Mataku memantau siapa saja yang ada di rumah ini. Bagus! Kau menyebut mereka yang saat ini ada di hadapanmu, Hay! Mereka menatapku tak kalah tajam. Aku memalingkan muka, menagih dengan diam apa yang akan nenek jawab. Namun, beberapa saat dirinya pun bungkam. Hatiku meringis, di antara tega dan lega.

Aku langsung memasuki kamar, menguncinya untuk bersembunyi dari dunia luar saat aku menumpahkan cairan asin tanpa ditahan. Mau ditanggung dalam dada, ditumpahkan lewat air mata, diluapkan lewat emosi tetap saja rasanya sakit. Ini aku, hatiku, bukan orang lain.

Waktu itu nenek ngobrol dengan Bi Ika dan Bi Ema. Bisik-bisik tetangga yang biasa mereka lakukan, aku tak peduli. Hatiku selalu membatasi diri dan punya pemikiran berbeda, begitu kata guru-guru yang dekat denganku. Aku adalah aku yang tidak perlu tahu kalau mereka tidak mau memberi tahu, tipikal tidak pernah kepo. Aku dengan masalahku dan sebisa mungkin menyelesaikannya sendiri. Masalah mereka hak mereka mau diselesaikan atau pun tidak. Itu terjadi pada lingkungan keluargaku sendiri. Masalah mereka bukan kepentinganku jika tidak meminta bantuan langsung padaku, aku tak bisa mengulurkan bantuan yang ditakutkan sama sekali tidak dibutuhkan.

Aku langsung bergegas kerja hari itu. Namun, sudah bulan berganti dan aku berdiam di rumah karena sakit, Bi Ika datang. Meski aku masih tidur, samar terdengar mereka membicarakan Bi Iya yang meminjam uang lagi padaku padahal KIP yang seharusnya menjadi milik nenek diberikan padanya. Tentu saja mengindahkan peringatan ini aku langsung bangun, SKTM sudah tidak berfungsi saat itu dan aku merasa tertipu.

"Si Iya mah kan salakina teu baleg, anakna arek asup ka SMK eweh nu ngabantuan. Jadi, nya kumaha euma ge bingung¹," kata nenek.

"Atuh eta mah engges tanggung jawab manehna. Karunya we si Hayu, arek kuliah kamari hese ayeuna kalahkah diinjeman we hayo ku si Teh Iya²." Bi Ika. Mulutnya terkadang tajam, tapi karenanya aku selalu tahu apa yang dipikirkan nenek. Berulang kali dia keceplosan, berulang kali juga aku tahu kenapa nenek tidak bercerita padaku. Mereka anak-anaknya dan aku hanya cucu yang dibuang induknya. Seharusnya aku bersyukur karena diberi kelayakan hidup.

Aku hanya berharap ini kali terakhir aku membentak nenekku dan dibentak kakekku. Aku lelah, besok aku masih harus bekerja.

***

Pagi buta, sebelum pukul tujuh aku sudah siap dengan pakaian kerjaku. Celana kulot bahan babat dengan baju abu polos diserut tali di bagian pinggang. Membuat badan gemukku terlihat lebih kecil, kataku. Seprai kasur kuganti dengan corak Masha and The Bear, warna dasarnya yang kuning busuk membuai mata. Nyaman dan ingin kembali merebahkan diri. Dua bantal dengan sarung senada seprai sudah ditumpuk, selimut warna cokelat agar padu dengan warna tokoh beruang besarnya sudah terlipat rapi di atas tumpukan bantal. Girang! Ini perubahan pertamaku. Aku harus yakin akan bisa hidup sendiri setelah ini.

Ada nenek dan kakek dengan kopi moccachino berteman gorengan, gehu dan deblo. Aku hanya berpamitan akan berangkat lebih pagi tanpa menoleh. Kakek menawarkan diri untuk mengantar, aku hanya menggeleng dan berujar sekenanya. Berlalu bak angin, aku jalan kaki untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya. Mungkin dengan begini aku bisa mendapatkan solusi atau kesimpulan terbaik dari merenungi alam. Tak sepenuhnya takdir salah, bisa jadi sang Nakhoda yang tidak paham akan muara yang seharusnya dituju.

Jam tujuh aku sudah buka toko. Pasar terlihat sepi, mungkin karena tanggal tua. Saat kereta api sampai di stasiun biasanya banyak kendaraan didekat talang, membuat kemacetan dan bunyi klakson bersahutan. Akan tetapi, hari ini seolah-olah menemaniku dalam kesunyian siang. Ah! Semangatku lumpuh seketika karena tanpa dirasa, berarti hari semakin sore, waktu pulang semakin dekat. A Umay juga tak semangat seperti biasanya. Kami ... melamun.

Banyak sandal!
Aku pulang jam setengah enam, permintaan A Umay karena akan ada kegiatan tawasul di rumahnya. Bos Subhan juga mengizinkan, lantaran toko juga sepi. Sampai di halaman aku melihat sandal-sandal semrawut, seperti bebanku yang saling tindih tanpa aturan.

"Teh Hay!" Suara semangat Kanaya membuyarkan khayalan.

"Eh, Kanay ...," sahutku. Dia nyengir, menampilkan gigi depan yang kehilangan tempat, belum tumbuh satu pun. Mamaku juga telah kembali dan mengajak adik-adik untuk pergi. Ya, mereka pergi malam ini untuk ke panti asuhan. Panas! Namun sekali lagi, aku tak bisa melakukan apa pun.

"Aya Mang Amat." Mama menunjuk ke arah rumah. "Maafnya, Mama belum bisa bayar utang. Mama udah cerai sama bapak mereka."

"Enggak usah dibayar, anggap aja ngasih buat mereka." Bola mataku mengarah pada dua gadis kecil setinggi pahaku. "Haah! Besok-besok juga nikah lagi, kan? Gak perlu lebay!"

Aku meninggalkan mereka. Durhaka? Mungkin, tapi ini tabiat yang diturunkannya padaku. Air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga. Wajar, toh Mama tak pernah merasa tersinggung dengan kelakukan atau kata-kata berjayaku barusan. Malah, kini terdengar gelak tawa bersama anak-anaknya meninggalkan halaman rumah.

"Mang ...." Sosok tinggi besar yang sedari dulu aku kagumi. Aku mencium punggung tangan itu khidmat. Dia mengajakku masuk dan ingin berbicara.

"Keterima kuliah?" Pertanyaan pertamanya begitu mengusik. Ada nenek dan kakek di kamar, juga ada Bi Ema.

"Belum pengumuman."

"Kalau keterima mau tinggal di mana?"

"Udah ada asrama putri. Cuma bayar 60 ribu per bulan."

"Yaudah kalau gitu. Jadi puguh, jangan bertindak sendiri. Jangan gegabah," tegurnya. Aku menatap semua orang, kembali merasa malas jika harus berdebat.

"Hayu mau bersih-bersih terus tidur." Tidak menjawab pesannya aku langsung beranjak menenangkan diri ke kamar mandi.

Elvira sedang memanggil....

"Hal—"

"Haaaay! Ululuuu chukhahae. Kamu keterima."

__________________________________________

¹) Iya (anak nenek) suaminya enggak benar, anaknya mau masuk SMK gak ada bantuan. Nenek juga bingung.

²) Itu kan sudah tanggung jawab mereka. Kasihan Hayu, mau kuliah susah sekarang uangnya abis gara-gara dipinjam bibinya.

Edrea Ivona [Completed]Where stories live. Discover now