11 - Mengapa Wanita Aneh?

24 10 0
                                    

Terpendam!

Suaraku tak mampu keluar dari mulut sialan ini! Otak dan hati jahat ini pun enggan untuk mengutarakan umpatan dalam gerakan tubuh atau mimik wajah sembrono. Aku malah berjalan tenang menuju warung dengan dirinya tepat di belakangku. Langkah-langkah pelan aku beri tekanan, sambil memusatkan pikiran pada hal yang baik-baik dan ditaburi kebahagiaan. Namun, hanya desisan aneh yang terus bersahutan bersama keheningan langit yang sudah gelap.

"Hay," panggil Mama. Aku berbalik melihatnya dengan kerut pada kening dan mimik wajah menunjukkan tidak suka. "Mama nitip Teh Pucuk we dua."

Shit! Apa dia memang tidak punya malu atau pada dasarnya memang begitu tak tahu etika?

Aku mempercepat jalan menuju warung. Membeli kebutuhan kakek dan titipan yang tadi disebutkan wanita aneh itu. Setelahnya, aku bergegas pulang karena lupa belum melaksanakan Salat Magrib.

***

Hida, nama Mama. Nenek bilang, setelah menyusuiku selama tiga minggu, dia pergi untuk menemui suaminya,—yang seharusnya aku sebut ayah, tetapi melihat wajahnya satu kali pun, aku tak pernah. Kalau kata kakek, dia menitipkanku dengan alasan ingin bekerja ya, alasan wajar.—Mama ingin meminta pertanggungjawaban. Namun ketika tiga hari tidak pulang, Mama terlihat hancur, dia mengurung diri di kamar. Kalau mendengar cerita nenek, kakek, dan bibi-bibi tentunya. Di sinilah semua itu dimulai. Di mana Mama pulang satu bulan sekali, bahkan orang rumah tidak tahu letak pastinya di mana dia selama sebulan itu.

Saat aku SD, dia hanya datang untuk mengambil sembako dan beasiswa miskin yang diberikan sekolah padaku. Hari itu, kali pertama dan terakhir aku merasakan dia adalah ibuku. Masa SMP dia datang dengan mengatakan akan menikah untuk yang ketiga kali dan tinggal di Jakarta. Demi Allah! Aku biasa saja saat dia mengabaikanku, tak memberitahu perihal apa pun meski aku terdaftar sebagai anaknya yang pertama. Akan tetapi, aku juga seorang manusia yang memiliki rasa, bukan?

Usai pernikahan singkat itu, nenek dan kakek pulang larut malam. Jika bukan karena nenek melupakan anak-anaknya yang pandai bergosip, dia pasti sudah berbohong. Mulut Bi Ika yang lihai berbicara itu membongkar semuanya.

Nenek cuma bilang, "Wajar kalau janda pengen nikah lagi. Nenek juga gak punya hak buat ngelarang ibumu, kan? Itu keputusannya dan dia yakin dengan jalan yang diambil. Jangan benci, jangan marah, darah gak bisa dicuci. Dia tetap ibumu."

Ya, dengan kata lain, Nek, aku akan tetap menjadi anaknya seumur hidupku.

Dari sekian banyak kejadian bersama, aku hanya ingat ketika dia memarahiku, ketika dia lebih mementingkan anak laki-laki yang sama sekali tidak menghargainya, dan ketika Mama menamparku karena laki-laki berambut gondrong dengan perawakan kurus kerempeng, suaminya.

Dia aneh! Bukan, ternyata aku yang aneh.  Meski aku menyembunyikan segala rasa benci, menekan rasa menyayat itu saat berada di hadapan nenek dan seolah-olah acuh pada kesengsaraan yang dia alami sekarang. Aku bangga! Hatiku puas pada kenyataan Mama menderita hari ini dan akan menderita seterusnya. Aku cukup bahagia saat dia meminjam uang padaku karena kenestapaan yang dia terima.

Aku tertawa dalam tangis. Seperti malam ini, setelah Salat Isya yang dirangkap dengan Salat Magrib karena terlambat, aku menangis, tapi juga tertawa. Sesaknya bukan kepalang, sakitnya juga sangat kuat dirasa. Pada puncaknya aku hanya bisa pasrah, seperti yang biasa dilakukan. Mengubur rasa itu lagi tanpa mengumbarnya ke permukaan. Aku takut, kalau semua tragedi tumpah ruah yang kusakiti bukan dia, tetapi ibunya ibuku.

***

"Hay!" seru Nenek tepat di telinga kananku. "Mukenanya mau dipake. Bangun udah subuh."

Hah, mukena?
Aku bangun dan menetralkan pandangan, melihat nenek masih berdiri di sana. Aku pakai mukena semalam, lupa menaruhnya kembali. Mataku celingukan mencari di atas ranjang dan di ujungnya yang kukira jatuh.

"Lagi apa? Itu mukena mau dipake!" kata nenek menunjuk pada tubuhku. Aku mengikuti arah telunjuknya, tanpa sadar aku hanya nyengir dan buru-buru membuka setelan untuk salat itu. Parah Sherly Lituhayu! Mukena nempel dibadan aja gak dirimu rasa!

Aku mengikuti langkah nenek keluar. Ternyata Mama dan kedua adikku tidur di ruang tv. Aku langsung belok kanan untuk ke kamar mandi, mandi dan wudu.

Daerah Selabintana dengan kawasan yang masih asri sangat disayangkan untuk melewatkan jalan-jalan di pagi hari. Setelah selesai salat, aku akan jalan-jalan minimal ke jalur atas untuk melihat pepohonan yang hijau nan rindang. Entah sendiri dengan lamunan dan khayalan, entah ditemani nenek dan kakek yang akan diakhiri dengan sarapan bubur bersama. Hidup serba pas itu lebih nikmat! Slogan dari kakek.

"Bungkus dua, Bu." Nenek menatapku yang melihatnya. "Buat Mama sama adikmu. Jangan pelit."

Gubrak! Ingin rasanya kuhabiskan bubur panas ini dalam sekali suap. Namun untungnya, Allah menciptakan segala sesuatunya dengan adil. Ukuran sendok itu beberapa kali lipat lebih kecil dari ukuran mangkuk. Jadi, tentu saja niatku tadi tak akan pernah terlaksana dan bersyukurlah aku karena tak punya pemikiran lebih ekstrem dari itu.

"Bayar sendiri," celetukku akhirnya.

"Nenek, kan, gak punya uang."

Pernyataan itu saja membuatku merasa bersalah. Aku terkekeh menimpali, "Hereuy atuh!¹"

Aku melihat ponsel sekilas, tadinya hanya ingin memastikan kalau ini masih jam enam pagi, tetapi mata minus ini ternyata tajam ketika melihat notifikasi yang melintas.

[Ayah Mas dirawat Sher.]
[Doain, ya. Smga semuanya lancar.] Mas Shohib

__________________________________________

¹) Hereuy atuh!: Bercanda, dong!

Edrea Ivona [Completed]Where stories live. Discover now