3 - Perpisahan dan Berakhir Membosankan

69 30 19
                                    

Hari H

Dress tunik polos berwarna biru dengan bunga-bunga kecil yang timbul ditambah rok batik berwarna emas dengan perpaduan cokelat tua dan garis biru seperti warna bajunya adalah pakaian perpisahan kami. Kerudung segiempat atau pasmina yang berwarna emas menjadi warna tema untuk perpisahan Yayasan Amal Islami sekarang. Perbedaannya hanya terletak pada warna baju, MA dan SMK disamakan karena muridnya yang masih sedikit. MTs menggunakan baju warna merah maroon yang tampak anggun dan elegan. Semua wanita memakai bros besar sebagai hiasan di kepala mereka, polesan di wajah mereka pun tak kalah meriah. Ada yang terlihat menor di mataku.

Kacamataku tertinggal di rumah. Alhasil, aku tak bisa membedakan mereka semua karena buram dan benar-benar berbayang. Aku tidak ditemani siapa pun, tidak seorang pun di keluargaku mau menginjakkan kaki di acara seperti ini. Mau saat SD dan aku jadi juara kelas, mau di MTs dan sekarang di MA. Tak pernah sekalipun mereka mau melakukannya.

"Malulah, masa ke acara gitu pakai daster," tukas Nenek selalu saat kupinta untuk datang. "Ya kali mau ngerempong di sana kalau aku datang," ucap Bi Ika kalau aku sedang iseng mengajaknya.

"Kamu mah kayak gak punya orang tua aja." Kata-kata ini yang selalu terlontar dari mulut guru-guru.

Jawaban hatiku selalu sama. "Jika memang terlihat seperti itu, asumsikan saja begitu."
Ponselku bergetar, tertera notifikasi pesan dari WhatsApp.

[Aku nyampeeee] Shella Agustiana

[Aku sebentar lagi. Ih, da ... tungguin ya Shel, Sher.] Laila

Tanpa membalasnya kumasukan ponsel ke tas mini yang dipinjamkan bibi khusus acara hari ini. Aku di mana? Aku sudah setengah jam seperti satpam menyambut kedatangan mereka di pintu gedung Islamic Center. Perpisahan diadakan di gedung karena permintaan kami semua. Pihak sekolah mengiakan saja karena pembayaran dilakukan oleh kami. Jadi, kenapa harus dipermasalahkan? Ah, mereka datang, saat perpisahan pun mereka masih ceriwis.

"Maafnya lama," sapa Shella dan Laila yang jaraknya masih tiga meter, ternyata mereka ketemuan di luar. Tangan Laila terulur meminta bantuan agar dituntun, jelas dengan rok yang dikecilkan di bagian betis membuatnya susah berjalan dan heels yang tinggi memperparahnya menaiki tangga yang hanya lima anak itu. Aku tersenyum pada Shella yang memilih berbicara tanpa suara, hanya mulutnya yang membuka dan menutup.

Ah, pakaianku tentu saja tak seribet mereka. Tidak ada yang namanya dikecilkan, semuanya longgar dan sempurna membentuk huruf A. Kata bibinya Keke, bentuk ini aman untukku dan enggak ribet ngejahitnya.

Kami masuk disambut para panitia, adik kelas kami. Mengucapkan selamat atas kelulusan, menurut mereka akhirnya kami bisa terbang bebas. Gimana mau terbang kalau sayap aja enggak bisa membentang? Kata siapa bebas kalau dalam memilih saja kita dipersilakan oleh banyak kekangan? Aku tersenyum kecut, mereka sepertinya tahu sifatku yang selalu ingin biasa saja. Tanpa berbincang lama, kami diberi bingkisan makanan ringan dan dipersilakan duduk.

Sebagai wali yang mendaftarkanku ke sekolah ini, Bu Siska datang kembali untuk menjadi orang tua yang mendampingiku. Kalau saja tidak bertemu dengannya mungkin hari ini aku tidak akan merasakan perpisahan dan merasakan mengenyam bangku MA. Biaya pertama masuk ke sekolah ini, semua ditanggung beliau.

Acara begitu khidmat, sesi wisuda Al-Qur'an yang paling berkesan bagi kami. Target wisuda itu tiga juz untuk dapat berkumpul bersama teman-teman yang lain di atas panggung dan aku punya empat juz, lebih satu. Jangan bertanya siapa yang merasa bangga di keluargaku karena yang saat ini menangis haru bersamaku adalah orang lain. Tak ada ikatan darah atau terikat hubungan apa pun, hanya sesama muslim dan hubungan guru dengan murid.

"Enggak apa-apa. Yang kuat, yang tegar. Hayu pasti bisa jalaninnya. Jangan lupain ibu. Dan semangat berjuang gapai cita-cita yang baiknya. Ibu yakin Hayu bisa!" ujarnya disela-sela pelukan hangat kami. Aku menangis, hanya itu yang kini aku butuhkan. Aku menjawabnya dengan lirih, sangat lirih hanya sepatah kata terima kasih.

Pelukan kami terurai, saatnya sesi foto bersama dengan mata yang sama-sama bengkak. Setelahnya, teman-teman silih ganti berpelukan, sama-sama menangis. Aku, Keke, dan Lulu saling tatap kemudian tersenyum, menyadari karena kami menangis dengan mimik biasa. Kami tertawa, teman-teman yang lain pun ikut tersenyum. Tidak semuanya mengerti, tetapi aku yakin kami ber-enam belas saling memahami.

"Atuh swafoto dulu, hei!" teriak Laila dengan gayanya yang unik. Jari-jarinya yang panjang-panjang bergerak tak karuan memanggil kami mendekat. Dasar!

Pembagian medali dan ijazah berlangsung dengan tertib. Perpisahan selesai tepat pukul dua belas siang. Melelahkan? Tentu saja tidak. Aku enggak pakai heels dan berdandan yang macam-macam. Penampilanku terhitung biasa untuk acara perpisahan, mau bagaimana lagi? Hanya ini yang aku miliki. Setelah berpamitan dengan guru-guru terdekatku yang karena mereka, aku lagi-lagi menangis. Kini, aku berada di trotoar Lapang Merdeka untuk memberhentikan angkot dan tak berhenti menguap, mengantuk.

***

Sehari setelah perpisahan.

Seharian di rumah, aku ditinggal nenek, kakek, dan bibi-bibi ke Bandung. Hanya ada Mama dan keluarga kecilnya yang menemaniku. Bangun, salat Subuh, dan kembali tidur adalah kebiasaan baruku setelah UN kemarin selesai dan libur lama. Itu nikmat! Meskipun aku yakin bobotku pasti bertambah dratis, aku tidak memikirkannya. Masa bodo, toh, aku tak berniat mencari suami.

Bangun lagi sekitar pukul sepuluh pagi, tak ada siapa pun di rumah. Tak masalah jika aku ditinggal sendiri, tetapi jika orang-orang pergi meninggalkan rumah dalam kondisi mengerikan, ini lebih menakutkan dari film Death Bell yang pernah aku tonton.

Mau bagaimana lagi? Bagaimana nanti malam nenek pulang dan rumah dalam kondisi yang tidak seharusnya? Dengan menggerutu aku membereskan kamarku terlebih dahulu, menyapu seluruh ruangan dan mengepelnya. Jika aku pemalas, Mama lebih dari itu. Cucian piring bekas makan dia saja enggak dicuci.

Gusti! Aku muak. Namun, disela-sela membersihkan dapur setelah mencuci piring, lagu IOI - Dream Girls terdengar nyaring dari arah kamar.

Seseorang memanggil ....

"Assal—" ucapku terpotong, "waalaikumsalam."

"Sher, ada program beasiswa," sahutnya dari seberang sana.

Edrea Ivona [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang