18 - Tepat Sasaran

15 8 0
                                    

Tanggal 2 Syawal masih suasana lebaran. Orang-orang mungkin tengah bersantai ria di rumah, merebahkan badan dengan telentang, seperti kebiasaanku. Atau, para manusia dengan THR tebal sedang menggunakan liburannya dengan tamasya bersama keluarga terkasih. Siapa yang mau ke pasar yang becek dengan sandal yang masih bagus. Wew! Hanya aku sepertinya yang sanggup berdiam di pasar, saat gerai perabotan di sebelah pun tutup.

Setelah ditinggal Jaka, hampa rasanya karena tak ada seorang pun yang bisa aku tanyai. Sepi!

Namun, belum lama mata menangkap sosok tinggi gempal menuju kemari dengan jaket kulitnya yang sangat aku kenali. Bos Subhan datang, melakukan minal aidzin lagi tanpa cipika-cipiki. Wait! Pemikiranku sudah bercabang saking gilanya. Aku kembali mengingat permasalahan Mama yang ingin berpisah dari suaminya. Tanggapanku semalam membuat orang rumah membungkam. Benar, kan, jika tidak mengontrol emosi bukan hanya ibuku yang sakit hati, tetapi nenek dan bibi-bibi pun ikut diam. Entah menyakiti atau bagaimana. Yang kutahu, mereka diam seribu bahasa.

Bos Subhan memberi interupsi agar toko ditutup pukul empat, setengah jam lagi. Ayah beranak dua itu kembali pulang setelah mengambil semua uang yang terkumpul sedari pagi dan membahas sesuatu dengan seseorang di telepon.

[Mas tadi malam mimpi, Hay.] Mas Shohib

Eh, bak mendapat durian runtuh.

[Wadidaw! Mimpi apa, tuh? Wkwk, pake mimpi segala.] Sherly Lituhayu

[Panjang, nanti malam ada wktu buat telponan?] Mas Shohib

[Bisa, dong.]
[Jangan terlalu malam tapi]
[Nenek marah entar. Haha] Sherly Lituhayu

Deg-degan, akhir-akhir ini jantungku berpacu lebih cepat jika bersinggungan dengan pesan-pesannya. Sudah delapan bulan chattingan dengan beberapa ratus bahasan. Hingga akhirnya saling terbuka cerita masa lalu. Hebat, memang. Kenyamanan itu terasa sempurna meski kita terbodohi karena pada akhirnya semua tetap pada khayalan.

[Ketikanmu kayanya gak pernah typo] Mas Shohib

Pun, dia baru menyadari hal satu ini. Ke mana aja delapan bulan kenal aku?

[Aku enggak suka kalau enggak rapi, Mas. Makanya selalu berusaha enggak ada typo. Heee] Sherly Lituhayu

16.00
Angka itu terpampang pada tampilan layar saat aku keluar dari aplikasi whatsapp. Waktunya pulang. Bergegas kumasukkan semua patung tanpa menyapu atau mengepel lantai terlebih dahulu.

Mengirimkan gambar
[Hay! Ini info buat tahun ini. Semangat, ya! Aku yakin kamu lulus.] Elvira.

Notifikasi dari kalender pun muncul. PPMB (Prediksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tepat tanggal 7 Juni 2019, perhitunganku tepat. Buru-buru menutup rolling door dan menguncinya dengan dua gembok, atas bawah. Aku menatapnya sejenak, besi yang sering dibuka tutup berwarna silver itu sudah rapat. Aku melangkah menjauh, mencari tempat duduk aman sambil menunggu jemputan kakek. Namun, sebelum menjatuhkan pantat pada kursi di tempat pedagang asongan juga tengah duduk, suara klakson menggema serta menampakkan sosok familier yang mengendarainya. Aku pamit pada bapak-bapak penjual rokok itu, lalu menaiki bagian belakang motor.

***

Terdaftar!
Aku sudah mendaftar pada UIN Bandung dan sudah memilih prodi, maksimal tiga jurusan, yups, sesuai dari informasi Elvira. Aku memilih ilmu sains pendidikan atau sastra Indonesia. Kini, hanya tinggal menunggu waktu untuk ujian mandiri dan ujian tahfidz. Aku pun sudah menghapal satu juz dalam satu bulan ini, membuka buku pelajaran dan mempelajari kembali soal-soal yang ada dibuku SPM (Seri Pendalaman Materi). Setidaknya masih ada ilmu bermanfaat dalam memori otak yang hampir usang karena tidak pernah digunakan lagi. Dengan posisi duduk selonjoran aku melihat jadwal apa saja yang ada di bulan Juni. Jangan sampai, Bos Subhan punya alasan untuk membuatku bekerja.

Hari itu Mas Ody memberitahuku tentang mimpinya. Enggak asik banget, masa iya dia ke Sukabumi, aku ke Tangerang jadinya kita enggak ketemu, dong. Akhirnya hatiku suuzon, mungkin memang kita tidak ditakdirkan bersama dan itu adalah jawaban Allah, aku mengatakan itu padanya. Tidak ada yang sekufu dalam hal apa pun untuk kami, semisal pada hal rupa. Aku mengakui Mas Ody adalah laki-laki yang manis, dia tampan. Sedangkan aku?

Setelah hari itu, aku tidak menjawab pesannya. Mengubah pengaturan baca pada whatsapp agar tidak menampilkan ceklis biru.

Hari-hariku tak karuan, merasa bersalah karena memang tidak seharusnya melakukan itu, jalan terbaik juga bukan seharusnya menghindar, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak memiliki keberanian dan kebanggaan diri untuk berbincang dengannya. Sebelas hari berlalu, aku masih melakukan hal yang sama. Bahkan di toko yang kini mulai ramai lagi, aku kebanyakan melamun.

Mama juga menambah beban pada pundak, rasanya tubuhku ingin ambruk saja. Dia menitipkan anak-anak pada nenek, dalihnya ingin bekerja. Namun, pada akhirnya dia ingin membawa anak-anak ke panti asuhan, Mizan Amanah. Aku tak acuh dari luar, membiarkan semuanya terjadi dan ... meratapi. Marah? Bukan, lebih dari itu, tapi aku tak bisa apa-apa. Jika melarang mereka untuk pergi itu sama seperti aku siap untuk menghidupi mereka dan aku yakin, Mama akan keluyuran lagi. Persetan rasa bersalahku kemarin! Dia satu-satunya wanita yang paling kubenci!

Pengumuman untuk tes tahfidz sudah di depan mata. Aku meminta izin pada Bos Subhan untuk libur dua hari bulan ini. Awalnya melarang sampai akhirnya aku jujur akan melakukan apa, dia mempersilakan. Pasalnya, aku tidak ingin keluar sebelum yakin akan diterima kampus tersebut. Sebagai acuan lain aku juga memilih jalur mandiri yang akan dilaksanakan esoknya.

[Mas ... doain Hayu, ya. Biar keterima kuliah dan prosesnya lancar.] Akhirnya aku buka pesan itu dan hanya menyampaikan keinginanku. Terkirim! Aku yakin dia bukan sosok kekanak-kanakan sepertiku. Dasar laki-laki unpredictable!

***

Sebuah ruangan besar tempat tes tahfidz bergemuruh, orang-orang dengan pakaian muslim berkumpul, me-muraja'ah hafalan mereka. Aku akan bersaing dengan para manusia keren lainnya. Kembali aku mengingat hapalan tanpa membawa Al-Quran.

Sesuatu yang kutakutkan tidak terjadi. Tes tahfidz tidak semenakutkan yang aku kira. Dua mentor bersikap lemah lembut padahal keduanya lelaki, meski benar-benar menguras energi, peluhku bercucuran hanya karena membaca ayat suci. Hati ikut berdebar, meski tak lolos atau mendapat beasiswa full untuk kuliah, setidaknya aku pernah mencoba.

Tinggal menunggu hasilnya. Aku pergi meninggalkan semua kenangan tadi dan mencari Elvira. Aku akan menginap satu malam di kost-annya.

Edrea Ivona [Completed]Where stories live. Discover now