Dua Puluh Dua

2K 215 7
                                    

Tiga Hari Kemudian...

Foto Benjamin telah terbingkai rapi di atas peti dalam altar gereja. Bunga berwarna-warni menghiasi hari memilukan itu. Semua orang di sana berpakaian hitam pekat dan tak ada satu pun yang berseri. Seluruh anggota keluarga berdiri di barisan paling depan untuk mengikuti upacara pemakaman itu. Zhi Xian menunduk tak percaya jika adik terkecilnya itu akan meninggalkan dia lebih dulu. Sementara Sebastian, sudah tidak terhitung berapa lama ia menangis setelah mendengar kabar mengenai adiknya tiga hari yang lalu.

Austin dan Kenneth berdiri di sisi paling kiri sedikit menjauh dari keluarga konglomerat itu. Austin masih terus menyalahkan dirinya sendiri sejak kepergian Benjamin. Bahkan dalam upacara pemakamannya ini Austin benar-benar kacau. Wajahnya sangat menyedihkan seperti orang yang tidak tidur berhari-hari. Dan faktanya memang begitu. Austin sangat terpukul.

Tiba saatnya untuk membacakan Eulogi. Orang yang membacakan saat itu adalah Sebastian. Bagaimanapun orang tua mereka sebenarnya tidak terlalu dekat karena kesibukan bisnisnya. Benjamin lebih banyak menghabiskan waktu dengan kakaknya itu, atau dengan lukisan.

"Untuk Malaikat Kecilku, Adikku Tercinta, Benjamin." Sebastian mulai membacakan Euloginya.

"Dari ingatanku sejak awal ia tidak pernah mengeluhkan apa pun. Dia selalu tersenyum meski terkadang aku membentaknya. Waktu kecil aku selalu memaksanya untuk bermain bola, tapi ia selalu menolak dan lebih suka menyendiri di kamar bersama kanvas dan beberapa cat minyak. Lambat laun aku sadar kalau ia akan menjadi pelukis yang hebat, seperti sekarang ini. Tapi, kenapa dia begitu cepat meninggalkan kita?" Sebastian menjeda ucapannya sejenak untuk menahan emosinya.

"Kak, kalau aku mati nanti, pakai uang hasil penjualan lukisanku saja ya untuk memakamkanku. Aku tidak ingin menganggu atau merepotkan kakak, apalagi papa dan mama."

"Kalimat itu benar-benar menusukku. Bagaimana bisa seseorang yang bahkan belum genap delapan belas tahun sudah memikirkan pemakamannya setelah mendapatkan vonis dari dokter? Aku tahu hidupnya selama belasan tahun ini tidak pernah bahagia, sampai ia menemukan seseorang yang mampu membuatnya tersenyum." Sebastian menghentikan euloginya sejenak dan menatap Austin dalam-dalam. Sebastian sadar kalau kepergian Ben bukanlah salah Austin. Ia sudah tahu sebelumnya kalau memang kondisi Ben sudah sangat buruk. Justru Sebastian sangat berterima kasih karena Austin telah mewujudkan impian Ben untuk ikut pameran di Paris.

"Aku belum bisa memberikannya apa-apa, tapi ia sudah pergi selamanya. Meninggalkan kita, orang-orang yang bahkan jauh lebih tua dibandingkan dia. Bersama penutup eulogi ini, aku ingin sampaikan semoga dia tetap tersenyum bahagia, selamanya." Sebastian turun dari podium. Acara pemakaman pun dilanjutkan pada hari itu.


***

Dua Bulan Kemudian...

Semester genap pun dimulai. Tidak terasa Kenneth sudah melewati semester pertamanya dengan baik. Austin dan Verina juga. Mereka bertiga sekarang duduk di kantin untuk merayakan hari pertama kuliah ini.

"Apa kalian tahu...fanspage Boy's College sedang menyoroti kak Michael!" Verina membuka obrolan.

"Apa yang terjadi dengannya?" Kenneth antusias mengingat Michael ini sepertinya ada sesuatu dengan...

"Admin fanspage itu memposting fotonya yang mencium seorang laki-laki. Dan laki-laki itu adalah Reynard!" Kenneth membelalakkan matanya. Baru saja ia hendak me-notice nama itu.

"Bukannya Boy's College hanya untuk mereka yang kuliah di universitas kita saja? Kenapa hubungan mereka begitu disoroti? Terutama Reynard, ia kan tidak kuliah di sini?" Kenneth penasaran, sementara Austin hanya mendengarkan. Sejak kejadian satu bulan yang lalu Austin jadi lebih pendiam dari biasanya.

"Kenneth, apa kau tidak bisa berpikir lebih jauh?" Verina mendengus kesal. "Kak Michael itu anggota F4, Ken. F4. Terkenal seantero kampus. Dan siapa yang tidak kepo tentang masalah percintaan mereka, hmm?" Kenneth pun mengangguk paham.

"Lalu bagaimana denganmu?" Verina melanjutkan.

"Aku?" Kenneth terlihat bingung.

Verina menghela napasnya panjang. "Siapa yang sebenarnya kau sukai? Kak Chris atau Kak Sebastian? Aku melihatmu lebih lengket dengan Kak Chris belakangan ini. Terutama sejak adiknya Sebastian meninggal." Kenneth langsung membungkam mulut Verina. Bagaimana bisa wanita aneh itu mengungkit masalah Ben di depan Austin.

Kenneth langsung melotot ke arah Verina. Ingin rasanya ia menjahit mulut wanita itu. Bagaimana tidak, Kenneth bersusah payah menghibur Austin belakangan ini dan tiba-tiba ia harus diingatkan kembali.

"Aku pergi dulu." Austin yang dari tadi mendengarkan pun bangkit dari tempat duduknya.

"Tin..." Kenneth menarik lengan Austin dan menggoyang-goyangkannya. Ia mencoba sok imut agar Austin kembali seperti dulu lagi. Seorang yang jahil dan suka menggoda Kenneth. Tapi...

"Lepaskan!" Austin yang sekarang tidak sama dengan yang dulu. Ia menghempaskan tangan Kenneth dan berlalu.

"Ini gara-gara kamu, Ver! Andai aja kamu nggak ngomongin hal itu. Austin pasti nggak bakal kayak gitu lagi." Kenneth memasang wajah cemberut.

"Maafkan aku, aku keceplosan. Aku tidak sengaja mengatakan hal itu."

Kenneth pun berlalu dan mengejar Austin. Ia tidak ingin sahabatnya itu sedih dan menyendiri. Meski ia harus dimarahi atau diteriaki oleh Austin, tapi Kenneth akan terus mencoba menghiburnya. Ia akan selalu ada untuk Austin.

"Tin..." panggil Kenneth ketika Austin murung dan duduk melamun menyendiri.

Masih tidak mempan dengan panggilan itu Kenneth mencoba mencari akal untuk mendapatkan perhatian Austin.

"Aku tadi dibully sama senior pas di toilet." Dulu waktu SMA ketika mendengar hal itu Austin pasti akan langsung bangkit dan mencari senior yang membully Kenneth, tapi sekarang...

"..." Austin hanya menatap sekilas Kenneth dan kembali dalam lamunannya. Ia tahu betul bahwa hal itu tidak mungkin karena seantero kampus sudah tahu kalau Kenneth dilindungi oleh Sebastian, bahkan seluruh anggota F4.

"Tin, kamu kenapa?" Kenneth menyandarkan kepalanya ke bahu Austin. Mereka sama-sama menatap ke depan, ke arah matahari tenggelam. "Masih kepikiran?"

Tiba-tiba rambut Kenneth basah. Air mata Austin menuruni pipi dan mengenai kepala Kenneth. Napasnya bisa dirasakan sedang sesenggukan.

"Tin, kau tahu cerita Sleeping Beauty? Sang Putri terbangun karena mendapatkan ciuman Pangeran kan?"

Austin tersadar dengan kisah itu. Pernah dikatakan Benjamin.

"Menurutmu bagaimana kalau ternyata selama ini 'ia' sedang tertidur dan baru tersadar ketika mendapatkan ciuman itu?"

"Tapi 'ia' mendapatkan kematian setelah ciuman itu." Austin kali ini membuka mulutnya. Ia tahu siapa yang dimaksud.

Kenneth menegakkan kepalanya dan menoleh menatap Austin lekat. Lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Apa artinya terbangun dan tersadar?"

"Tahu, mengerti, menemukan sesuatu setelah sekian lama menunggu?"

"Persis seperti kisah itu, ia sudah menunggumu untuk waktu yang lama agar tersadarkan. Dunia ini terlalu kejam untuk orang baik sepertinya, Tin. Ia tahu, ia sadar, ia berada di sana untuk mendapatkan temuannya itu. Ia pasti bahagia di sana, Tin."

Austin menatap Kenneth lekat. "Kau yakin dia bahagia di sana dan tidak kesepian?"

Kenneth mengangguk pelan. "Ada malaikat yang jauh lebih tampan daripada dirimu yang menjaganya di sana, Tin." Kenneth terkekeh tidak percaya apa yang sudah ia katakan. Sementara Austin mulai menarik sudut bibirnya.

"Akhirnya Tuan Austin tersenyum lagi." Kenneth mencubit kedua pipi Austin gemas. Pria di depannya itu benar-benar kehilangan jati dirinya belakangan ini. Senang melihatnya sekarang berangsur-angsur kembali. Kenneth sayang Austin. Dan sebaliknya. Tapi bukan sayang yang seperti itu.


***

Ditulis pada 04/09/2020

Maaf ya aku hiatus sebulan karena sibuk magang :(
Ini aku baru selesai, doain bisa up tiap hari!

Meteor Ga(y)den [END]Where stories live. Discover now