25 | Cemburu

9.6K 1.4K 379
                                    

Aku bisa menyayangimu terus-menerus di tempat dan cara seperti apa pun. Yang sulit adalah mengungkapkannya.
🥀

"Tadi kebetulan antar makanan deket rumah kamu. Makanya aku jemput sekalian nggak apa-apa, kan?"

Rosa mengangguk.

Ren tidak sepenuhnya berbohong. Ia memang melewati rumah Rosa tadi. Tapi alasan utamanya karena ia tahu Rosa ingin bertemu dengannya. Pesan Rosa sebelum ini yang menandakan itu walau Rosa tidak akan mungkin mengutarakan keinginan untuk bertemu lebih dulu.

"Udah seminggu libur semester, ngapain aja di rumah?" tanya Ren sambil menyusul Rosa turun dari motor.

"Tidur."

Ren tertawa. "Rebahan terus. Badan kamu sama kasurnya melebur jadi satu entar."

Rosa hanya melirik Ren sekilas. Ucapan Ren kadang tidak jelas.

"Papa Mama gimana kabarnya? Sehat?" tanya Ren sambil menggandeng tangan Rosa menuju pintu rumah.

"Iya."

Ren mendengus senyum geli. Ia baru akan membuka pintu saat Rosa menahan lengannya. "Kenapa?"

Rosa terlihat bimbang. Ada sorot takut sekaligus sedih yang kentara. "Frisya pasti marah."

Ren mengernyit. Detik saat ia menyadari kecemasan Rosa, tubuhnya lalu direndahkan untuk bisa melihat raut itu dengan jelas. "Kamu nggak usah khawatir, Ros. Frisya baik."

Kedua tangan Rosa bersimpul menunjukkan keresahan. "Dia nggak suka aku."

Seperti tidak asing, keduanya lalu terdiam mendengar kalimat itu. Ren pernah mengatakan orang tua Rosa tidak menyukainya, dan sekarang Rosa yang mengatakan bahwa adik Ren tidak menyukainya.

"Tapi ... dia mungkin cuma khawatir," gumam Rosa dengan senyum tipis. "Sama kayak keluargaku yang khawatir kalau aku sama kamu karena kejadian dulu, Frisya juga mungkin khawatir karena aku pernah nyakitin kamu."

Ucap pelan dengan tatapan sayu itu membuat Ren tertegun. Jelas sekali ia dengar kesakitan dalam kalimat beruntun Rosa tadi, begitu juga wajah yang kini mendongak menatapnya dengan sorot lembut.

"Aku nggak akan ulangi itu lagi. Janji." Rosa mengangguk satu kali untuk meyakinkan.

Ren mengulas senyum. Tatapnya menyorot hangat melihat tekad Rosa. Padahal ia merasa pantas diperlakukan begitu setelah apa yang terjadi pada mereka di masa lalu.

"Aku nggak akan bikin kamu marah. Aku nggak mau lihat kamu marah lagi."

Marah yang dimaksudkan Rosa bukanlah dalam arti harfiah. Tapi sebuah perasaan kecewa yang membuat Ren tidak mengacuhkannya sampai menghindar. Rosa tidak nyaman dengan itu.

"Kamu nggak pernah bikin aku marah, Ros," ujar Ren lembut. Tangannya menangkup kedua pipi Rosa dan mencubit dengan gemas. "Bisanya bikin aku tambah sayang."

Rosa mengerjap, tidak siap dengan perubahan suasana yang mendadak tidak seserius tadi. Ren bahkan tersenyum lebar sekarang.

"Aku beneran, Kak," sentak Rosa. Ia tidak mau dikira main-main dengan ucapannya.

"Iya, Sayang." Ren menjulurkan kedua tangan untuk menyentuh bahu Rosa. "Kamu boleh marah kalau aku salah. Tapi jangan lama-lama."

Rosa mendengus. "Pokoknya kalau kamu marah, aku mau lakuin apa aja biar nggak jadi marah," gerutunya.

"Apa?" Ren sebenarnya sudah mendengar dengan jelas. Itu hanya bentuk refleks saja. "Kamu nggak salah bicara?"

Salah bicara apa? Rosa berpikir keras.

Menjemput Patah HatiWhere stories live. Discover now