18 | Perasaan

7.8K 1.4K 247
                                    

Ada banyak harapanku ingin menjadi satu, denganmu.
🥀

"Kami nggak ada hubungan apa-apa, Fris."

Sekali lagi, Rosa menekankan. Melihat Frisya sampai memohon membuat Rosa tidak tega. Tidak pernah satu kali pun ia mendapati seseorang sebegitu niat meminta sesuatu padanya.

"Tapi pasti akan ada hubungan, kan?" Suara lirih Frisya terdengar mencekat. Ada tangis yang berusaha ditahan cewek itu kuat-kuat, tapi gagal saat Rosa tak kunjung menjawab.

Mungkin Rosa akan terang-terangan mengiyakan untuk menghindar, dulu, saat belum sejauh ini mengenal sosok Ren. Tapi kini ia pun bimbang. Bukan terlalu percaya diri, tapi andaikan Ren meminta sebuah hubungan padanya, ia tidak lantas menerima begitu saja. Untuk mundur pun, ia tidak yakin akan sanggup.

"Bang Ren pernah bener-bener dipermalukan sama mantannya karena kondisi keluarga kami, Kak," lirih Frisya, yang tadi terlihat angkuh, kini sangat rapuh saat air matanya terjatuh.

"Fris, duduk di atas, ya." Lagi-lagi Rosa membujuk Frisya agar duduk seperti semula. Ia sangat paham ketakutan yang cewek itu rasakan.

"Nggak, sebelum Kakak jawab," paksa Frisya, dengan rengekan khas anak kecil.

Rosa mengamati dalam diam. Tatapannya semakin sayu saat mencoba mengerti keadaan yang menimpa keluarga Ren. Sepertinya semua terluka. Batin dan fisik. Ren yang harus bekerja, mama Ren yang menderita penyakit serius, serta dua adik Ren yang pasti harus adaptasi dengan keadaan baru. Belum lagi kondisi sekitar, entah bisa menerima dua remaja yang masih tahap pertumbuhan itu dengan baik atau tidak.

Rosa masih amat takut jika memang benar terjun ke dunia Ren, hanya saja ia tidak bisa didorong mundur secepat itu. Perlu waktu serta alasan yang kuat untuk membuatnya mundur teratur.

"Kakak ...," keluh Frisya lagi, kali ini isakannya terdengar keras.

Rosa meneliti sekitar. Ia tidak mau adegan itu tertangkap salah satu anggota keluarga yang lain. "Kami nggak ada hubungan apa-apa." Ia malah merasa seperti kaset rusak, mengulang ucapan yang sama berulang kali.

"Aku kenal Bang Ren, pasti ada niat sama Kak Rosa."

Rosa memijit dahinya pelan. Ia tidak merasa Ren akan berniat begitu. Niat Ren dari awal pun hanya mempertemukan Rosa dengan Ani. Sampai sekarang.

"Enggak, Fris." Ucapan Rosa terdengar lelah. Ia sungguh ingin mengakhiri percakapan tanpa arah itu. "Dia bawa aku ke sini buat ketemu mama kamu aja. Nggak ada niat lain."

Rosa melihat dengan jelas, Frisya yang tertunduk dalam seakan menghabiskan air mata. Beberapa detik berselang, wajah itu kembali terangkat. Walau bekas air mata masih tercetak di kedua pipi Frisya, tapi ekspresi cewek itu lagi-lagi menunjukkan ketidaksukaan.

"Aku nggak suka sama Kak Rosa. Sampai kapan pun nggak akan suka," desis Frisya dengan tajam, begitu juga tatapannya yang menusuk kedua bola mata Rosa.

Lalu Frisya berdiri dan berbalik, berjalan cepat meninggalkan Rosa yang termenung. Sehebat itukah efek seseorang yang mengatakan tidak menyukainya tanpa alasan? Seumur hidup, Rosa belum pernah mendengar kalimat telak semacam itu yang membuatnya membeku. Saat Raya mengatakan tidak suka melihatnya pun, Rosa merasa biasa saja. Bukankah selama ini ia bisa mengabaikan semua hal yang membuatnya terbebani? Kenapa sekarang justru sedikit hal saja membuatnya tidak enak hati?

"Ros, belum makan siang kan?"

Suara itu membuat Rosa mengerjap. Ia mendapati Ren baru saja duduk di sebelahnya. Mengamati ekspresinya, Rosa tidak mendapati tanda-tanda Ren sangat terpukul dengan hidup yang dijalani. Memang sangat pandai menyembunyikan.

Menjemput Patah HatiWhere stories live. Discover now