#3 - Mendapat Restu

Mulai dari awal
                                    

Arm kaget. Bukan karena Krist yang menikah duluan. Tapi karena Pho yang merestui begitu saja, mengingat mereka tak pernah akur sejak pertemuan awal.

"T-tentu saja tidak keberatan, haha ...," Arm tertawa garing. Lalu ia menatap Krist dan Singto. "Selamat ya, buat kalian."

Krist tersenyum paksa. "P'Arm setuju aku menikah dengan makhluk-err ... maksudku dengan Singto?"

Krist berharap kalau Arm mengerti apa maksudnya. Jika Pho sudah merestui, maka Krist menaruh harapan besar pada Arm untuk menolak Singto agar tidak masuk ke dalam keluarga mereka. Krist mana sudi menikah dengan orang gila semacam Singto.

"Karena Pho setuju, tidak ada alasan bagiku untuk melarang kalian, 'kan? Tentu saja aku setuju. Semoga kalian bahagia dan Singto bisa menjagamu," ujar Arm yang jauh dari ekspektasi Krist.

Sementara Krist sendiri kehilangan kata-kata. Ia merasa ini semua hanya mimpi belaka. Tapi tidak. Ini nyata bukan mimpi.

"Terima kasih, Paman ... P'Arm. Aku pasti akan menjaganya sepenuh hati, segenap jiwa, sekuat tenaga."

Krist pun mengalihkan pandangannya ke arah Singto saat mendengar pria itu menanggapi Arm. Pria itu tersenyum ke arahnya. Lalu mengedipkan satu matanya membuat Krist ingin mencolok mata itu.

Oke, ini adalah mimpi buruk yang pernah terjadi di kehidupannya. Krist menarik napas dan menghelanya pelan. Hanya bisa berharap masa depannya masihlah indah walaupun saat ini tengah mengalami kekacauan.

***

Krist meletakkan kepalanya di atas meja. Wajahnya miring ke kanan sambil beberapa kali menghela napas besar.

"Kit, kenapa? Dari tadi hanya menghela nafas terus? Kau sedang ada masalah?" tanya Nammon yang kini meletakkan bukunya.

"Sepertinya masa depanku gelap," jawab Krist dengan gumaman melantur.

"Hey ... ada apa, sih? Sini cerita ...."

Krist membuang nafas lagi untuk kesekian kalinya. Ia menarik tubuhnya, duduk tegap menghadap Nammon yang sedari tadi dipunggunginya.

"Aku akan menikah." Singkat, padat, jelas, dan datar.

"Oh ... menikah ... kukira apa—" belum sampai sedetik ia sudah berteriak. "—APA? MENIK—mmphh."

Sontak, Krist membekap mulut Nammon. Ia mengedarkan pandangannya. Ingatkan jika saat ini mereka sedang berada di kampus. Siapa saja bisa mendengar teriakan Nammon.

"Bisa tidak, tidak perlu teriak begini? Nanti kalau yang lain dengar bagaimana?" Krist menekankan setiap kalimatnya. Nammon mengangguk, kemudian Krist melepas bekapannya.

"Maaf, aku reflek tadi." Krist memutar bola matanya jengah. "Jadi, dengan siapa kau menikah?"

"Singto."

Nammon membulatkan matanya. "Hah, kok bisa? Bukannya kalian baru kenal? Cepat sekali? Perasaan kemarin-kemarin Pho-mu dan P'Arm sangat menentangnya."

"Nah, itu dia ... Aku juga bingung kenapa bisa Pho dan P'Arm tiba-tiba setuju begitu saja hanya karena dia menyelamatkan Pho dari kecelakaan."

"Hutang budi nyawa, mungkin."

Krist menghendikkan bahunya. "Tidak taulah. Aku benar-benar pusing. Bagaimana caranya batal nikah?"

"Hush! Tidak boleh begitu. Lagipula kau harusnya bahagia menikah muda."

"Bahagia pantatmu!" Nammon meraba pantatnya yang membuat Krist semakin jengkel. "Masalahnya, iya kalau aku menikah dengan gadis cantik seksi atau kekasihku. Nah, ini hanya pria gila yang baru kukenal. Lebih bodohnya lagi, kami menikah karena taruhan game? Lama-lama aku bisa ikutan gila!"

Game Over Love [Singto X Krist - Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang