ARSENA: CHAPTER 35 ✔

Start from the beginning
                                    

"Udahlah, Vien. Eh, sorry ya tadi gak sengaja," tutur Sena. Namun Vien tak terima, ia sangat pantang mengucapkan kata 'maaf' jika tak salah. Dan menurut Vien, yang salah orang itu, siapa suruh deket-deket ke orang yang lagi main bulutangkis?

"Ih, apaan lo, Kak!" sewot Vien.

"Kita gak salah, ya! Siapa suruh lewat sini!" kesal Vien, sambil menatap tajam orang tersebut.

"Heh, ini kan jalanan umum, monyet!"

"Ya, lo ngapain disitu, babi!"

Sena memijit pangkal hidungnya pelan, kepalanya mendadak pusing. Sena jadi kesal sendiri, si Vien bukannya menyelesaikan masalah, malah menambah masalah.

Karna kebetulan sudah siang, Sena memilih pulang sendiri, toh ternyata Vanne dan Elvan sudah pulang. Ia memilih pulang sendiri karna Vien dipanggil gak nyaut dan malah terus berdebat.

"Lo harus minta maaf sama gue!" teriak laki-laki itu sambil mencengkram tangan Vien cukup kencang, sehingga kukunya menancap di tangan Vien, membuatnya merintih kesakitan.

"Pantang bagi gue buat minta maaf, Ferdy!"

Ah, dia Ferdy. Musuh bebuyutan Vien di sekolah, namun malangnya, ia sebangku permanen dengan Ferdy. Sifatnya dengan Ferdy sangat sama, sama absurdnya, sama jahilnya, sama konyolnya.

Sayangnya, mereka selalu ribut dan tak pernah akur, padahal banyak yang merasa mereka couple goals.

"TAPI LO SALAH!" bentak Ferdy membuat Vien terdiam.

Ferdy mencengkram tangan Vien terlalu kencang, membuat tangan Vien yang putih sangat terlihat menjadi merah. Sial, mata Vien berkaca-kaca, ia merutuki dirinya yang cengeng.

Dengan cepat Ferdy melepaskan tangan Vien yang memerah karna ulahnya, Ferdy merasa sangat bersalah, ia mencoba meraih tangan Vien namun ditepis kasar olehnya.

"Pen, gue minta maaf," ujar Ferdy. Pendek, panggilan dari Ferdy untuk Vien, dan Vien memanggil Ferdy dengan sebutan, Jones.

Vien tak membalas ucapan itu, lalu ia menoleh kebelakang dan mencari Sena. Sialan, ia ditinggal oleh sepupunya.

"Pen, sorry," ujar Ferdy sambil menarik lengan Vien, namun Vien melepas paksa dan berlari, dan Ferdy mengejar.

Tanpa Vien sadari, ada bongkahan kayu di depannya yang tak terlihat. Alhasil, Vien terjatuh, sepertinya kaki nya terkilir.

"Aw, sakit," rintih Vien sambil memegangi pergelangan kakinya, Ferdy melotot melihat itu dan langsung menghampiri Vien.

"Pendek, kaki lo terkilir?" tanya Ferdy, namun Vien menatapnya tajam, ia benci Ferdy, Ferdy yang selalu menjahilinya setiap hari, walaupun Vien juga sering.

"Gak usah sok peduli!" sinis Vien.

Tanpa memerdulikan ucapan Vien, Ferdy meraih pergelangan kaki Vien membuat sang empu meringis sakit.

"Aw! Sakit, bego!" bentak Vien sambil memukul bahu Ferdy kencang.

"Ayo, duduk kesitu, gue urutin kaki lo," titah Ferdy sambil mengulurkan tangannya, matanya menatap Vien tajam seolah ia tak suka penolakan. Vien menatapnya takut, ia jadi tak berani melawan melihat mata Ferdy yang begitu tajam.

Vien menangguk pasrah, Ferdy memapahnya menuju kursi panjang dan Vien menyelonjorkan kakinya di paha Ferdy.

Perlahan, Ferdy mengurut pergelangan kaki Vien yang terkilir. Sesekali Vien merintih dan marah-marah, kebetulan kawasan itu sedang sepi, jadi tidak ada orang alay yang berteriak.

"PELAN-PELAN DONG! NANTI KAKI GUE PATAH GIMANA?" bentak Vien, Ferdy menatap malas dan melanjutkan mengurut kaki Vien.

"Kalo patah tinggal ganti pake kaki sapi, susah amat," celetuk Ferdy asal, mata Vien membulat sempurna. Memangnya dia apa? Manusia setengah sapi?

"Ssh! Ternyata lo bisa ngurut juga ya," ujar Vien kagum, Ferdy tersenyum pede, orang ganteng mah gitu.

"Biasa, orang ganteng."

"Ganteng itu diakui, bukan mengakui. Tapi lo kenapa gak jadi tukang urut aja?" tanya Vien.

Ferdy menyentil kening Vien kencang membuatnya mengaduh, enak saja ganteng-ganteng gini dijadiin tukang urut.

"Dikasih hati malah ngelunjak lo ya!"

"Mana sini tangan lo yang tadi!" perintah Ferdy, Vien mengulurkan tangannya yang tadi di cengkram oleh Ferdy.

Ferdy meniupnya pelan sesekali mengelusnya, perlakuan itu sukses membuat Vien tercenggang beberapa saat, jantungnya berdegup kencang seolah sedang marathon. Bagai ada kupu-kupu yang beterbangan di perutnya.

Ferdy mengelus tangan Vien pelan, lalu beralih menatap Vien. Mata mereka saling beradu, seolah mengungkapkan sesuatu yang tak mereka ketahui. Dengan cepat, Vien memutuskan kontak mata tersebut.

"Masih sakit?" tanya Ferdy, Vien menggeleng.

"Bisa jalan gak?" tanya Ferdy santai.

"Bisa, lah! Slavienna di remehin," ejek Vien. Namun, baru setengah berdiri kakinya terasa sakit, dan Vien jatuh dipangkuan Ferdy, mata mereka saling beradu. Lalu Vien mengalihkan pandangannya dan menggeser tempat duduknya degan pelan.

"Ck, udah keseleo, masih aja gaya, pendek!" sindir Ferdy, Vien menunduk malu. Dan yang membuatnya kaget, Ferdy berjongkok dihadapan Vien dan mengulurkan tangan kanannya.

"Lo ngapain sih, nes?" heran Vien.

"Naik."

"Ih, gakmau, nanti badan gue panuan gara-gara digendong sama lo!"

"Yaudah gue tinggal kalo gitu."

"Eh, jangan! Yaudah iya, mau," putus Vien.

Lalu Vien naik ke gendongan Ferdy dengan dibantu. Ada getaran aneh yang muncul di dada kedua insan tersebut. Baru kali ini mereka saling diam, dan pertama kalinya Ferdy mau didekati perempuan.

Karna Vien tiba-tiba mengantuk, ia menenggelamlan wajahnya di ceruk leher Ferdy dan tertidur. Ferdy tak merasa lelah sedikitpun, ia tersenyum tipis melihat Vien tertidur.

"Gue lebih suka kalo lo tidur gini, gak banyak omong. Tapi jangan sampe lo berubah jadi pendiem juga, gue gak suka."


🍂🍂🍂

Follow ig: @hanna_yapss @thewatty_han

ARSENA [COMPLETED] ✔Where stories live. Discover now