13 - Trying My Best

Start from the beginning
                                    

Sepanjang perjalanan menuju runah sakit, baik gue maupun dia gak ada yang membuka suara. Gue segan bertanya, meskipun sejujurnya gue penasaran gimana kronologi jelasnya.

Sesampainya di rumah sakit, ternyata Om Fredy udah berdiri di depan pintu ruang rawat Tante Nia. Gak ada ekspresi yang berarti dari wajahnya. Masih datar dan dingin.

Tanpa gue duga, Raiden bahkan ada di sana. Dia memberi kode pada gue untuk menepi sewaktu Om Fredy mulai berjalan mendekati Alden. Namun, sayangnya gue gak menghiraukannya. Gue tetap berdiri di samping Alden sampai pria paruh baya itu udah berada tepat di hadapan kami berdua.

“Puas Ayah sekarang?”

Refleks, tangan gue mecengkram kuat pergelangan tangan Alden. Gue bener-bener takut dia bakalan lepas kendali.

“Alden...”

“Ini yang Ayah mau 'kan?”

“Alden, jaga ucapan kamu.”

“Aku rasa Ayah gak pantes ada di sini. Kenapa Ayah gak ngerayain party aja buat ngerayain kematiaan Bunda?”

Plak

Mendengar suara tamparan  yang jelas begitu menyakitkan itu, membuat gue harus memejamkan mata karena sangking takutnya. Genggaman tangan Alden pada tangan gue kian mengerat. Gue juga bisa merasakan kalau tangan itu mulai berkeringat.

“Saya gak membesarkan kamu untuk jadi anak yang kurang ajar seperti ini.”

Gue memberanikan diri untuk membuka mata. Tepat di hadapan gue, Om Fredy kelihatan jelas menahan amarah. Tatapan matanya menghunus tajam, mukanya sedikit memerah.

Alden membalas ucapan ayahnya dengan kekehan kecil. Kekehan yang justru terdengar sangat frustasi di telinga gue.

“Saya bahkan gak pernah merasa pernah dibesarkan oleh Anda.“

Tepat setelah dia mengatakan itu, dia menarik tangan gue untuk meninggalkan lorong yang mencekam ini. Dia menarik gue menuju kamar jenazah, tempat di mana almarhum Tante Nia berada. Kami berdua berdiri tepat di depan pintu yang terlihat menyeramkan itu. Gue pikir Alden mau masuk, tapi ternyata dia justru berjongkok di depan pintu tersebut. Tangisannya pecah begitu aja. Kali ini terdengar jauh lebih frustasi dan menyakitkan.

Gue meremas ujung blouse yang gue kenakan. Tanpa bisa dicegah, air mata gue akhirnya ikut jatuh. Gue mendudukkan diri di sampingnya. Memeluk erat tubuhnya yang bergetar hebat.

Pada akhirnya, gue kembali ke titik ini. Ke titik di mana gue menjadi satu-satunya orang yang selalu ada untuk Alden Seandra Bastara. Sosok yang banyak orang kira gak membutuhkan orang lain karena dia terlihat mampu mengatasi masalahnya seorang diri. Sosok yang jarang menunjukkan emosinya di depan orang banyak.

Bahkan sebagian orang mengenalnya sebagai sosok yang gak memiliki emosi karena pembawaannya selalu datar dan dingin. Seolah gak ada seorang pun yang bisa menyentuhnya.

Namun, kenyataannya dia adalah sosok paling emosional yang pernah gue temui. Sosok yang entah gimana bisa seolah punya dua kepribadian yang berbeda—yang kadang gue sulit memahaminya.

Alden hanyalah sosok yang menyimpan banyak luka di setiap sudut hatinya. Luka yang dia coba tutupi dengan bongkahan es agar orang lain gak bisa menemukannya.

Gak ada siapapun yang mengetahuinya.

Gak ada siapapun selain gue.

Dan mengingat fakta itu, gue merasa makin sulit untuk terlepas darinya.

❇❇❇


Elang

Elang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Long Way HomeWhere stories live. Discover now