3. UNDENIABLE

31.1K 6.2K 778
                                    

Hai everyone
Semoga weekend-nya menyenangkan
Entar paham kenapa mulmed-nya lagu ini

Happy reading
*
*
*

Saat Dzaki masih kecil, mamanya tidak akan melewatkan hari Minggu yang cerah dengan cuma berdiam diri di rumah. Mereka akan pergi entah ke mall, ke Taman Safari, ke Puncak, atau sekadar ke rumah eyangnya yang berada di PIK. Apalagi mamanya adalah seorang lawyer yang sangat sibuk di hari kerja sehingga waktu bertemu dengan anak-anaknya terbatas sekali. Di hari Sabtu biasanya mamanya akan lebih banyak tidur di kamar. 

Tetapi seiring berjalannya waktu terutama setelah kakaknya menikah dan punya dua orang anak, mereka lebih sering di rumah saja karena kakaknya akan main ke rumah memboyong suami dan dua keponakan Dzaki yang nakalnya minta ampun. Padahal yang paling tua masih TK dan adiknya masih 3 tahun tetapi badungnya kadang sudah melewati batas toleransi.

Seperti saat ini. Dzaki baru saja pamit pada kedua orang-tua serta kakak dan kakak iparnya untuk urusan KP tetapi langkahnya terhalang karena dua keponakan Dzaki -Ishaq dan Ismail-yang memeluk erat kedua kakinya.

"Om mau mana?" tanya si bungsu Ismail padanya. "Mau ikut."

Dzaki langsung menggeleng. "Nggak bisa, Mail. Om mau belajar sama temen Om."

"Belajar apa? This is sunday. Sunday is free," sambung Ishaq yang memang sudah lebih paham tentang istilah belajar.

Dia menghela nafas dan berusaha melepas tangan-tangan keponakannya dari kakinya. "Orang dewasa tuh belajarnya nggak cuma Senin sampai Jumat. Minggu juga bisa."

Pelukan di kedua kakinya malah makin erat. Mereka berdua menggeleng. "Mau ikut," kata mereka serempak.

Dzaki menatap pasrah pada kedua orang tuanya serta orang tua si bocah-bocah badung ini. Mereka berempat malah tersenyum tetapi tidak berniat membantu Dzaki. Astaga. Rasanya ingin mengumpat saja sekarang.

Kenapa keluarganya malah senang melihatnya tersiksa seperti ini sih?

"Ishaq dan Ismail, sini sama Mama," panggil Mbak Salwa pada anak-anaknya. "Jangan ganggu Om Jek. Om Jek mau belajar dulu. Biar pinter. Biar cepet lulus. Biar kalau keluar rumah nggak minta uang bensin sama Eyang."

Kedua mata Dzaki langsung melotot. Mama dan papanya tertawa sementara abang iparnya berusaha sebisa mungkin menahan senyum. Walaupun ini bukan kali pertama Salma menistakan Dzaki, tetapi rasanya tetap sama.

Sakit.

"Om nggak mau pinjemin kalian Nintendo lagi kalau masih nempel-nempel kayak gini," Dzaki mengeluarkan jurus terakhir.

Pelukan pada kedua kakinya langsung terlepas. Mereka berlari ke arah mamanya dan langsung duduk anteng seperti anak kecil yang berbudi pekerti lurus. Salwa mengelus-elus rambut kedua anaknya dengan kekehan geli. 

Walaupun adiknya terlihat cuek, tetapi Dzaki adalah om yang sangat baik untuk Ishaq dan Ismail. Level kesabarannya patut diacungi jempol padahal bukan sekali-dua kali mereka merusak entah itu alat tulis Dzaki atau bahkan pernak-pernik entah apa yang ada di kamar adiknya.

"Aku pergi dulu, ya. Assalamualaikum," ucap Dzaki sebelum kemudian memasuki mobilnya.

Baru saja dia menekan tombol starter, ponselnya berdering. Dzaki melirik layar. Haura.

"Astaghfirullah ini cewek kagak ada sabar-sabarnya sama sekali," Dzaki mengerang frustrasi. 

Dengan malas, Dzaki mengangkat telepon. "Apaan sih? Gue udah OTW nih. Lo takut banget gue mangkir, ya?"

"Bukan, Kak. Maaf. Saya cuma make sure aja. Soalnya--"

"Soalnya apa? Udah jangan telfon-telfon gue lagi. Gue mau jalan nih. Sabar aja di sana. Kayak nggak pernah nungguin orang lo."

KERJA PRAKTIKWhere stories live. Discover now