Sementara di langit-langit, puluhan lampu kristal berjajar rapi, menerangi ruangan sekaligus mencerminkan jika pemilik rumah merupakan seseorang yang sangat menyukai kemewahan dan keartististikan. Sangat elegan bak sebuah istana.

Queen beranjak dari tempat duduknya, bergerak menuju piano di sisi kanan ruangan. Perlahan, ia menyentuh benda kesayangan Joshua. Menurut pria itu, ia memiliki sebuah piano hadiah dari seorang seniman ternama kenalan ayahnya.

Ah, Joshua sangat beruntung karena banyak yang mendukungnya dalam hal bermain musik. Lain halnya dengan Queen, ibunya tidak menyetujui ketertarikan Queen dalam bidang seni musik. Meski demikian, ia tidak hilang akal. Diam-diam, ia selalu memanfaatkan kegiatan bidang musik di kampus.

Itulah alasan yang membuat Queen senang berteman dengan Joshua. Pria itu dengan senang hati mengajari Queen berbagai macam alat musik. Akan tetapi, Queen lebih tertarik pada piano. Entahlah, ada kedamaian tersendiri saat mendengar dentingan nada dari tuts-tuts yang dimainkannya.

Queen duduk di hadapan piano, meletakkan jari-jarinya di atas tuts-tuts berwarna putih. Ia tersenyum, bersiap memainkan melodi.

***

Rafael turun dari Ferrari merah kesayangannya. Tubuh tinggi tegapnya berjalan meninggalkan garasi, di mana deretan mobil berjajar dengan rapi. Tiba di pintu samping ruang tamu, ia tertegun.

Rafael menajamkan indra pendengarnya. Denting piano yang mengalun merdu itu sangat menarik perhatian. Siapa pemilik jari-jari yang dengan begitu piawai memainkan nada-nada sendu? Rasa penasaran pun membuat ia melangkah ke arah sumber suara.

Ah ya, itu dia. Gadis berambut panjang yang belum pernah Rafael lihat sebelumnya. Wajah berkulit putihnya nampak merona. Cantik. Tanpa mengenalnya pun Rafael tahu, gadis itu sangatlah istimewa.

Gadis itu terlalu serius menghayati permainannya, sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Rafael. Nada-nada sendu itu terus mengalun merdu, menarik siapa pun yang mendengarnya untuk menyelam dan menikmatinya. Termasuk Rafael, menyilangkan kedua lengan di depan dada dengan mata tertuju pada gadis pemain piano.

Satu menit kemudian, alunan piano terhenti, gadis itu tersenyum seraya mendongak. Tanpa sengaja, mata jernihnya berserobok pandang dengan Rafael. Hanya beberapa detik, karena di detik selanjutnya ia kembali menunduk menatap deretan tuts piano. Kedua pipinya bersemu merah. Gadis polos, dan itu sama sekali bukan selera Rafael.

"Permainan yang bagus, tetapi sayang kau tidak cukup menarik dengan style kaus longgar dan celana jeans-mu. Akan lebih sempurna jika mengenakan dress berenda dengan belahan dada rendah, dan rok berbahan sutera sebatas paha. Aku rasa kakimu cukup mulus untuk dipertontonkan." Rafael tersenyum miring, lantas pergi meninggalkan gadis yang wajahnya semakin memerah oleh ucapannya.

"Tidak sopan!"

Sayup-sayup Rafael mendengar gadis itu menggerutu. Ya, gerutuan khas seorang gadis polos. Lain halnya jika kalimat yang sedikit melecehkan itu ditujukan untuk gadis nakal, barangkali gadis itu seketika akan membuka pakaiannya di hadapan Rafael.

Oke, lupakan. Rafael sama sekali tidak tertarik pada gadis pemain piano yang baru dilihatnya malam ini. Sebelumnya, ia sudah seringkali melihat Joshua membawa teman-teman senimannya ke rumah ini. Entah untuk bermain piano, gitar, dan berbagai jenis alat musik lain.

Sebagai seseorang yang menyukai dunia bisnis, Rafael tidak menyukai seni. Baginya, hal-hal semacam itu tidaklah bermanfaat. Maka, ia pun merasa muak pada seniman-seniman yang menghabiskan masa muda mereka. Rafael acapkali bertengkar dengan Joshua, karena adiknya tidak menggunakan masa muda untuk belajar mengurus bisnis milik ayah mereka.

***

"Aku mencintaimu."

Ucapan Joshua membuat Queen terdiam. Saat ini, mereka berada di balkon lantai tiga. Duduk berhadapan dengan tiga buah candle light yang membuat suasana semakin romantis. Piring berisi makanan penutup sudah tandas, dan para maid baru saja membereskannya.

Akan tetapi, Queen sama sekali tidak menyangka jika makan malam mereka akan ditutup oleh ungkapan cinta dari Joshua. Selama ini, ia hanya menganggap Joshua sebagai teman.

"Maaf mengejutkanmu, aku tidak bisa menyimpan perasaanku terlalu lama. Apalagi dua bulan lagi aku harus pergi ke London. Aku−"

"Maaf, Jo," potong Queen. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya lewat mulut. "Aku−"

"Tidak perlu dijawab sekarang." Kali ini giliran Joshua yang menyela.

"Kau tahu, bukan? Ibuku tidak senang melihatku bermain-main dengan lelaki."

"Ya, aku tahu. Karenanya aku serius ingin menikahimu setelah aku kembali dari London."

"Tapi−"

"Aku memberimu waktu untuk berpikir. Tidak perlu terburu-buru, oke?"

Queen mengangguk dan beranjak dari tempat duduknya. "Baiklah. Kalau begitu aku pulang sekarang."

"Aku akan mengantarmu."

"Tidak, Jo. Aku bisa pulang sendiri."

"Queen ...."

"Mama tidak akan senang melihatku pulang diantar seorang lelaki. Selamat malam, Jo."

Joshua mengangguk pasrah. Ia tahu benar sifat Queen. Jika sudah berkata 'tidak', maka tak akan ada yang boleh membantahnya. Sekali saja membantah Queen, gadis itu akan mendiamkannya selama tujuh hari tujuh malam. Ah, Queen yang polos tetapi selalu teguh pada pendirian.

"Jadi dia gadis incaranmu?"

Joshua menoleh, entah sejak kapan Rafael berdiri di ambang pintu. Menyilangkan kedua lengan di depan dada, sembari menyugar rambutnya. Tertawa penuh ejekan.

"Bukan urusanmu," sahut Joshua dingin.

"Gadis polos, dan masih perawan? Sepertinya menyenangkan jika aku bisa melakukan test drive padanya."

Bugh ...!!!

Satu hantaman keras meninju rahang Rafael. "Berani menyentuh se-inchi saja, aku akan menghabisimu, brengsek!"

Rafael mencengkeram kerah kaus Joshua erat-erat. "Menyentuhnya? Aku bahkan bisa dengan mudah membuat gadis polos itu bertekuk lutut di hadapanku karena menginginkan sentuhanku."

"Queen bukan gadis seperti itu!"

"Aku bahkan hanya perlu menjentikkan jari untuk merubahnya menjadi gadis yang liar di atas ranjang!" Rafael mengempaskan tubuh Joshua hingga terjajar ke belakang dan menabrak meja. Satu buah gelas terguling, jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping.

Joshua menatap pintu yang sudah tertutup rapat, lalu menyentuh punggungnya yang berdenyut nyeri. Ia menyesal, tidak seharusnya ia mengajak Queen ke rumah ini dan mengungkapkan perasaannya. Lalu sekarang apa? Rafael sudah terlanjur mengendus siapa gadis yang Joshua cintai.

"Aaaarrrggghhh!!!" Joshua menepis semua barang-barang di meja hingga balkon penuh dengan bunyi dentingan. Pecahan gelas berhamburan di mana-mana, sementara candle light terguling dan akhirnya padam. Joshua hanya bisa melihat gelap.

***

To be Continued
19-07-2020

TrappedWhere stories live. Discover now