12 - Falling for You

Mulai dari awal
                                    

"Emang kamu gak tau cita-cita kamu apa?"

Gue menggeleng dengan yakin.

"Kamu sukanya apa?"

"Dragon ball."

Dia tertawa mendengar jawaban gue. Iya, emang gue anaknya udah malu-maluin dari kecil.

"Kamu gak mau suka yang lain? Misalnya, dokter?"

"Gak suka jarum suntik."

"Em... Kalau polisi?"

"Gak mau, kata Teteh polisi nyebelin."

Mendengar ucapan gue, respon dia cuma tertawa sampai matanya menyipit.

"Kamu bisa main itu?" dia menunjuk keyboard milik bokap gue yang setiap pagi emang selalu ditaruh di balkon kamar gue karena dia suka mainin di sini. Pemandangannya bagus katanya, gak kayak kamar dia yang balkonnya menghadap ke pabrik konveksi.

"Bisa," jawab gue apa adanya.

"Wihh keren! Bisa main alat musik apa lagi?"

"Drum," jujur gue emang lebih dulu bisa main drum ketimbang gitar. Gue baru bisa main gitar pas masuk SMP, sedangkan drum udah dari SD.

"Keren banget! Kenapa gak jadi musisi aja?"

"Musisi tuh apa?"

"Itu loh, orang-orang penyuka musik. Bukan sekedar suka aja, tapi kata Bunda musisi juga bisa nyiptain musik-musik bagus."

"Aku gak bisa bikin musik."

"Nanti 'kan belajar. Aku yakin kamu bisa kok. Kamu bisa main itu aja udah termasuk hebat," dia menunjuk keyboard di belakang gue dengan senyum sumringah.

"Sasa, ayuk makan dulu!"

Suara perempuan dari dalam rumahnya menginterupsi kegiatan menggambarnya yang belum selesai. Dia langsung membereskan alat gambarnya kemudian masuk ke dalam rumah.

Gue masih berdiri di balkon sambil memandangi kertas gambarnya yang sengaja dia tinggalin di teras. Kalimatnya yang bisa dibilang cukup sederhana-mengingat umurnya yang berjarak dua tahun lebih muda dari gue-, lucunya terus berputar di kepala gue.

Sampai akhirnya suatu pagi, gue mengetuk pintu kamar orang tua gue dengan penuh semangat. Gue ingat saat itu bokap dan nyokap gue sampe keluar dengan tergesa-gesa karena gue yang mengetuk pintu kamar mereka terlalu kencang.

"Kenapa, Dek? Adek mimpi buruk lagi?"

Gue menggeleng, "Pi, Mi, Elang gak mau jadi Son Goku."

Mereka sibuk melempar pandangan saat gue mengatakan itu.

"Elang mau jadi musisi. Musisi hebat kayak Papi."

Akhirnya gue sadar kalau di rumah ini ada musisi hebat yang mendedikasikan separuh hidupnya untuk musik. Dulu sebelum gue kenal kata musisi itu, setiap bokap gue sibuk sama alat musiknya gue pikir dia cuma sekedar iseng aja. Gue gak tau kalau dia sedang menciptakan sebuah maha karya yang berhasil menarik hati orang-orang di luar sana.

Dan sekarang gue .... ingin seperti beliau.

Bokap dan nyokap gue saat itu cuma menanggapi ucapan gue dengan senyuman. Gue ikut tersenyum dengan rasa bangga karena akhirnya gue menemukan cita-cita gue.

Gue berniat buat ngasih tau dia soal cita-cita gue ini, tapi sayangnya waktu terlalu jahat sama gue. Waktu gak mengizinkan gue untuk menceritakan soal cita-cita itu ke dia.

Rumahnya kosong. Ada banner besar bertuliskan 'disewakan' yang terpasang di pagar rumahnya. Gue ingat saat itu, gue hanya bisa memandangi pagar putih yang gak terlalu tinggi itu dengan tatapan sendu dan penuh kekecewaan.

Long Way HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang