✧🌷 10. Ada Penyelamat

9.8K 1K 150
                                    

Centauri kembali!
Ramaikan yaa!

Selamat Membaca
🌷

"Tidur di sofa emangnya enak, Centauri?" Mami bertanya padaku seraya mengoleskan selai untuk sarapan hari ini. Tidak lupa, setelah menaruh roti selai cokelat di piringku, Mami mendorong segelas susu tepat ke hadapanku.

"Enak, soalnya dipeluk cowok."

Itu bukan aku yang menjawab, serius! Melainkan abang yang duduk di seberangku. Dia juga sedang menikmati sarapan paginya sebelum pergi ke kampus.

Aku memutar bola mataku saat abang masih menatapku. Aku tidak mengerti sikapnya yang seperti itu turunan dari siapa. Padahal Papi itu orangnya ramah, tidak pelit, dan suka bercanda. Lalu Mami dia itu rendah hati, penyayang, banyak bicara. Tidak ada yang julid, ketus, dingin, seperti abang.

"Sakti baik, jagain aku biar gak jatuh, Mi. Dia juga nungguin aku sampai kalian pulang semalam." Aku mengalihkan tatapanku pada Mami, lalu membawa roti di piring. "Dia perhatiin aku, Mi. Makeup aku aja dibersihin sama dia soalnya aku ketiduran."

Mami harus mendengar mengenai kebaikan Sakti yang ini. Sebab, tidak ada orang lain yang memperlakukanku seperti ini jika bukan Papi dan Mami. Abang? Heh, yang benar saja! Dia bahkan tidak pernah mengelus puncak kepalaku dengan lembut, atau menatapku seperti menatap adik kesayangannya.

"Sakti sahabat baik aku. Sahabat yang bahkan ngalahin saudara sendiri," tambahku dengan sedikit sindiran pada abang.

"Hus! Jangan bilang gitu." Mami mengelus kepalaku, dia juga menggeser kursi dan duduk di sampingku. "Tumben banget ya, kamu bahas Sakti sambil muji-muji begini di depan abang. Dulu, jarang banget kamu bahas Sakti, pasti sibuk sama abang mulu."

Kunyahanku terhenti seketika, aku juga bisa melihat abang mengangkat wajahnya dan menatapku. Berdeham sejenak, aku akui Mami benar. Dulu aku tidak memiliki waktu untuk membahas Sakti jika abang ada di depanku. Aku akan sibuk bersikap manja padanya. Ya, seperti yang Erina dan Joana katakan, aku seperti kera bergelayut pada pohon pisang jika abang di dekatku.

"Semuanya 'kan ada waktunya, Mi." Aku menyahut pelan, tidak mau sama sekali melirik abang yang sekarang entah melihat apa. "Aku udah besar, aku tahu abang risih sama aku yang manja. Terus Sakti, dia gak keberatan sama sekali mau gimanapun aku ke dia. Jadi aku pilih-pilih aja sekarang. Biar gak ganggu."

"Wah wah, anak Papi bisa berpikir seperti ini ya. Bagus juga."

Aku terkejut saat suara Papi datang, dia sudah berada di samping kiriku saat ini, tersenyum padaku. "Tapi abang gak mungkin risih sama kamu, iya 'kan Gala?"

"Hm."

Aku memutar bola mataku saat mendengar tanggapan Abang. Papi bilang Abang tidak risih? Harusnya Papi melihat saat aku terus menerus didorong olehnya jika aku menempel di lengannya.

Papi juga harus melihat jika Abang selalu menatapku tanpa minat, seolah-olah aku hanyalah benalu di hidupnya.

Sesalah apa sih aku pada Abang?

Sudahlah, lupakan. Aku menyuapkan kembali roti ke dalam mulut. Hingga beberapa menit kemudian Abang bangkit dari duduknya, dia berpamitan pada Papi dan Mami, mencium tangan keduanya.

Aku tetap diam sibuk dengan susu yang harus aku habiskan. Namun kemudian aku hampir saja menjatuhkan gelas saat merasakan kecupan di kepala.

Kedua tanganku yang memegang gelas terasa gemetar sekarang, menyadari jika yang melakukan itu adalah Abang. Otomatis aku menatapnya dan dia langsung berbalik pergi, meninggalkan aku yang membeku.

I Want to Cherish YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang