✧🌷 6. Kedatangan Papi & Mami

8.6K 995 77
                                    

Centauri kembali!!
Ramaikan dengan komentar!

Centauri kembali!!Ramaikan dengan komentar!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat Membaca
🌷

Aku dan Sakti baru saja tiba di rumahku. Kupegang erat lengan Sakti seraya melangkah ke dalam rumah. Aku sangat antusias menyambut kedatangan Papi dan Mami. Sudah lama sekali aku tidak melihat mereka. Ya, walaupun baru seminggu sebenarnya.

"Mamiii!" Aku berteriak saat melihat wanita dengan rambut disanggul rapi, memakai terusan berwarna kopi susu. Tangannya merentang, menyambutku dengan hangat. Dia Arasya Borealis Orion, mamiku yang paling perhatian dan juga cantik menawan. Dia masih segar bugar di umurnya yang menginjak usia 40 tahun.

"Ihh mami kangen sama kamu!" Mami memelukku seraya menggoyangkan tubuhku ke kiri dan ke kanan. "Untung aja, pekerjaan Papi gak sampai sebulan kayak yang dia bilang waktu itu. Soalnya dipercepat, kalau beneran sebulan, wah mami gak bisa ngawasin anak-anak mami."

Aku terkekeh, mengurai pelukanku saat seseorang mengelus kepalaku di belakang. Begitu berbalik, aku jadi memekik senang dan segera memeluknya. Naraga Orion, Papi terbaik sepanjang masa karena tidak pelit memberikan uang saku dan bonusnya.

Papi dan Mami memang perhatian pada anak-anaknya. Walaupun keduanya selalu sibuk, jarang pulang, dan juga sulit dihubungi jika sedang berada di luar, tapi mereka yang terbaik!

"Baru beberapa hari hebohnya kayak gak ketemu dua puluh tahun," komentar Papi namun tetap membalas pelukanku. Setelahnya dia menoleh ke samping kanan, di mana Sakti berada. "Lho, jadi beneran ya Centauri mau sama Bima dibanding abangnya? Ada apa, nih?"

"Iya. Mami kaget tadi waktu Gala bilang Centauri maunya sama Sakti, gak mau sama abang sendiri." Mami menambahkan.

Aku menggaruk pipiku yang tak gatal, lantas melihat Sakti yang menyalami Papi dan Mami dan terkekeh ringan. Aku ingin membiarkan dia saja yang menjawabnya.

"Centauri mood-nya lagi mau nempel ke Sakti, soalnya dari kemarin-kemarin sama Sakti terus lho, Pi, Mi." Sakti berujar, dia melirikku dan mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda.

Aku sontak saja melotot. "Ih, b-bukan gitu!" bantahku. Tapi aku tidak melanjutkan kata-kataku lagi sebab aku tidak punya alasan. Benar 'kan aku lebih menempel pada Sakti akhir-akhir ini? Itu semua aku lakukan agar Sakti bisa melihatku, agar Sakti tahu bahwa aku akan berada di sisinya saat kondisinya baik ataupun buruk.

Papi dan Mami malah tertawa, mereka membuat wajahku jadi terasa panas sekali.

"Bagus dong, Mami seneng kalau kamu nempel lagi ke Sakti." Mami merangkulku dan menarikku, sementara Papi bersama Sakti mengikuti. "Mami tahu, kok, kalian jarang bareng di sekolah. Mami agak sedih, tapi sekarang kayaknya udah berubah."

Aku hanya diam dan menyandarkan diriku ke sofa, sementara Sakti duduk di hadapanku dan masih tersenyum menanggapi Mami. Cowok itu sudah akrab sekali dengan keluargaku, dia memanggil Papi dan Mami pada orang tuaku, bukan lagi Om dan Tante. Selain karena kedekatan keluarga kami, ada satu hal lain yang membuat Sakti dekat sekali dengan keluargaku.

Sakti sendirian di rumah. Dia anak tunggal yang kesepian. Sama halnya Papi dan Mami, orang tua Sakti juga sibuk bekerja. Bahkan bisa dikatakan jauh lebih sibuk, apalagi Mamanya seorang desainer terkenal dan Papanya juga sosok pengusaha sukses yang super sibuk. Sejak kecil, Sakti diurus oleh pengasuh, dan sekarang dia bersama beberapa pelayan di rumah besarnya. Tanpa orang tua.

Jika aku berkomentar, pasti komentar ini akan menyakitkannya. Sebab, Sakti seperti seorang yatim piatu. Orang tuanya seperti hilang begitu saja dan akan muncul setahun sekali atau paling banyak setahun tiga kali untuk menemui Sakti.

Aku jadi sadar, sejak aku tak mempedulikannya, Sakti memang sendirian. 

"Bunda sama Ayah kapan pulang, Bima?"

Aku tersentak saat Papi menanyakan hal itu pada Sakti. Ini mungkin bukan pertanyaan serius, tapi aku rasa ini cukup menyakitkan bagi seorang anak yang ditinggalkan orang tuanya tanpa kepastian kapan pulang. Tapi, namanya juga Papi Naraga, dia tidak akan segan-segan bertanya apapun pada Sakti.

Sakti tampak mengelus pundaknya, dia biasa melakukan itu jika tiba-tiba gugup atau canggung. Sakti tersenyum pada Papi sekilas, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. "Nggak tahu, Pi. Mungkin nanti."

"Nantinya kapan? Sesekali telepon aja, Bima. Bilang ke mereka kalau mereka masih punya anak." Papi memijat pelipisnya, dia sadar jika orang tua Sakti sudah lama tidak pulang.

"Nanti aja mami coba hubungin Leyna." Mami menyahut dengan sejuta senyuman pada Sakti. "Pasti dia bakalan secepatnya pulang kalau mami kabarin Sakti kangen dia."

"Nggak usah, Mi. Bunda pasti banyak alasan lain. Lagian Sakti udah biasa." Itu perkataan Sakti yang terdengar meyakinkan, namun entah bagaimana isi hatinya.

Aku mengamatinya dalam diam, Sakti tetap tersenyum dan tampak tak keberatan dengan perbincangan ini. Apa benar ya, Sakti sudah terbiasa?

"Selain itu, masih ada Papi sama Mami." Papi terkekeh seraya menepuk pundak Sakti. "Malam minggu kita makan malam keluar, ya? Mumpung Gala gak terlalu sibuk sama kuliahnya."

"Oh iya, Pi. Selain itu besok malam kita harus hadir ke acara temen mami yang mau rayain ulang tahun perusahaan." Mami berbinar semangat, dia merangkulku kencang. "Ri, kamu beli baju ya sama Sakti besok siang? Kalian berdua harus ikut pokoknya. Apalagi Sakti, gak boleh ketinggalan. Soalnya mereka juga sahabat baik Ayah sama Bunda kamu."

Sakti mengangguk tanpa berpikir lama. "Siap, Mi, Sakti pasti datang."

"Kamu mau bareng sama Sakti atau abang?" Papi bertanya padaku.

Dan tentu saja, pilihanku adalah Sakti! Tidak mungkin aku datang dengan Abang. Bisa-bisanya aku dikomentari habis-habisan karena penampilan. Sebab, dari dulu Abang selalu begitu. Akan melotot padaku, lalu mengomel mengenai baju dan makeup yang aku kenakan. Malas sekali.

Dulu aku memang senang Abang bisa berbicara sepanjang itu. Sekarang? Terasa menyebalkan.

"Sama Sakti, dong." Aku menjawabnya penuh keyakinan, dan tepat saat itu Abang muncul lalu duduk di samping Sakti.

"Yakin?" suara Abang mengalun.

Aku jadi membeku sesaat karena bertatapan dengannya. Dan apa katanya? Yakin? Tentu saja aku yakin.

"Harusnya abang seneng, adeknya yang suka ngerepotin ini gak mau berangkat bareng." Aku mendelik kesal.

Kekehan Abang terdengar datar, hingga aku melihat dia menepuk paha Sakti, lalu berujar, "sabarin aja, Sakti. Lo harus ditebengin dia."

Sakti terkekeh. "Aman, Bang."

Apa-apaan itu?! Aku mendengkus kesal, melipat kedua tanganku di depan dada lantas mengalihkan pandangan untuk melihat pemandangan lain selain dua cowok tampan di samping Papi. 

🌷..

Gimana chapter kali ini? Jangan lupa tinggalkan jejak ya!

Kalau ada apa-apa boleh hubungi akun ig aku @ariraa_wp

I Want to Cherish YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang