part 6

3.3K 305 2
                                    

"Maira, bangunlah." Suara panggilan samar terdengar ditelinga Maira, matanya perlahan mengerjap dan mendudukan tubuhnya. Nampak Aulia tersenyum menatapnya.

"Kita shalat yuk?" ajak Aulia.

Maira hanya tersenyum kecil lalu kembali menggeleng pelan.

"Masih?" Maira mengangguk. "Ya sudah, aku ke mesjid dulu, setelah selesai mengurus para santriwati, setengah enam aku kembali," Maira kembali mengangguk.

Aulia berdiri lalu tersenyum. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," ucap Maira.

Helaan nafas terdengar begitu pelan, wajah itu menunduk setelah Aulia menutup pintu rumahnya. Bukan pertama kali Aulia mengajaknya untuk shalat, dari hari pertama ia di rumah ini Aulia sudah mengajaknya. Dan ia harus kembali berbohong pada Aulia yang sebenarnya ia bisa untuk shalat.

Tapi entah apa yang dipikirkan Maira, enggan untuk shalat bukan berarti ia tidak mau untuk melaksanakannya, tapi ia merasa tidak pantas untuk melakukannya. Perilakunya dulu yang membuatnya tidak akan pantas melakukannya.

Aroma botol bir, warna warni klab, pakaian terbuka dengan rok mininya. Bibir merah merona dengan rambut panjang bergelombang.

Disebuah klub tempat yang tidak ada batasan yang dilarang, jauh dari aturan sang pencipta. Dialah Maira, siapa yang tidak mengenalnya? Lelaki yang datang ketempat itu akan tau dialah sang wanita penggoda dengan kecantikan menawan yang dimilikinya.

Dia bukan pelacur atau pun sang pelakor, dia hanya seorang wanita yang berhasil membuat semua lelaki ditempatnya luluh terpana, kecantikan nya membuat para lelaki ingin memilikinya.

Jangankan shalat, Mendengar kata Islam pun seolah asing di telinganya, ia sadar kedua orang tuanya adalah orang Islam bahkan dalam KTPnya Maira juga Islam, tapi kedua orang tuanya seolah tidak pernah mengajarkannya sedikit pun tentang Islam itu sendiri padanya.

Mata itu perlahan memanas, tangisnya sekarang merambas perlahan. Maira bingung akan dirinya, bingung dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Kehidupannya dulu dan dengan yang dipesantren ini seolah berbanding terbalik.

Dulu entah kenapa rasanya hati merasa tidak tenang, padahal tidak ada siapapun yang ingin membunuhnya. Setiap langkah hidupnya ada rasa tak enak dan tak nyaman yang dirasakannya. Apa hidup seperti ini? Berteman dengan kegelisahan yang entah apa penyebabnya?

Tapi ketika pemuda itu menolong hidup Maira, membawanya kesebuah tempat yang tak pernah dilihatnya. Wajah-wajah yang ia temui di tempat ini sangat lah tenang dan damai, apa Meraka benar-benar sudah menemukan kebahagiaan sesungguhnya dalam kehidupan?

Tak lama kemudian, terdengar Azan subuh berkumandang dengan merdunya, membuat tangis Maira perlahan terhenti. Tangan Maira menyentuh dadanya yang begitu tenang mendengar azan.

Kakinya melangkah perlahan lebih dekat dengan asal suara yang sebelumnya pernah didengarnya. Tapi entah kenapa suara adzan hari ini membuat dirinya lain dari sebelumnya.

Angin subuh meniup pelan helaian rambut Maira yang tergerai panjang. Kakinya terus melangkah mendekat pada mesjid yang tak jauh darinya.

Dibawah pohon, tubuh itu mengendap matanya menatap nyala Lampu yang menerangi seisi mesjid berlantai dua dengan dua tiang yang menjulang tinggi. Para santri nampak berarak menuju tempat bersujudnya manusia yang sebenarnya.

Wajah itu terkagum melihat suasana subuh yang sangat menentramkan hatinya. Seolah kebingungan sebelumnya tak pernah diingatnya. Nampak tenang dan damai wajah mereka, pikir Maira.

Maira menggeleng pelan. wajah itu menunduk. tangisnya kembali turun.

"Kamu tidak akan pernah pantas, Maira, tidak akan pernah, jauh dari perilaku itu kamu tidak pantas mendapatkan kedamaian seperti mereka," lirihnya perlahan.

Tubuh itu bergetar dengan suara tangisannya. Maira berbalik untuk kembali lagi tapi tepat didepannya, dua meter darinya, nampak lelaki yang dua hari telah menolong hidunya, dia Faza berdiri dengan sebuah helaan nafas panjangnya.

Maira menunduk lagi mencoba menghapus air mata yang ada.

"Maira?" panggil Faza. Maira terus menunduk menahan tangisnya.

"Kenapa, hm?" tanyanya lembut.

Maira menatap Faza sebentar lalu kembali menunduk. Ia menggeleng perlahan.

"Aku baik-baik saja," ucap Maira pelan.

"Maira, walau kamu mengucapkannya begitu pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya. siapa saja akan pantas untuk bersujud pada Allah, Mau itu pencuri, pembunuh, sipendosa, siapa saja Maira, dia akan pantas jika ia benar-benar mengakui kesalahannya."

"Kak Faza tidak tau aku di luaran sana seperti apa, dan kalau pun tau kakak tidak akan pernah mau melihat wanita sepertiku ada di hadapan kakak," ucap Maira.

"Aku tidak tau, Maira, tapi yang aku tau di hatimu itu ingin sekali merubah semuanya, tetapi lagi-lagi pikiranmu menolak segalanya, kembali melakukan kesalahan padahal hatimu ingin terus merubah semua itu."

Maira terdiam. Tangisnya kembali turun.

"Maira?" Panggil Faza lagi. Tatapannya sekarang melembut. Wajah Maira kembali terangkat menatap Faza dengan lirihnya.

"Aku bingung, kak Faza," ucap Maira.

"Bingung? Bingung kenapa?"

"Aku sadar aku adalah orang Islam, ayah dan ibuku juga orang Islam, tapi mereka seolah tak pernah mengajarkanku tentang apa-apa, mereka tak memarahiku sedikit pun saat aku pergi ke klab, kesibukan mereka membuatnya seperti acuh dengan apapun yang aku lakukan."

"Klab?"

Maira terdiam, wajahnya menunduk seketika saat sadar yang ia ucapkan. Tidak seharusnya ia katakan tentang itu pada seorang pemuda shaleh seperti Faza.

"Maafkan aku."

"Lanjutkan saja, Maira," ucap Faza mengerti, Maira mengangguk.

"Minum bir, pemabuk, aku tau semua itu jauh dari kata baik, tapi kak Faza, setiap aku melakukan itu ada hati yang selalu takut, tak nyaman, gelisah, aku bingung dengan hidupku ini, aku ingin tenang, damai, tidak gelisah lagi dan aku merasakan semua itu ada di pesantren ini.

"Tapi, apa wanita sepertiku ini pantas untuk berubah? Aulia, dia wanita yang sangat baik, dan selalu membuatku iri dengan kehidupannya yang sungguh tenang dan damai. Aku ingin seperti dia tapi apa aku pantas, kak Faza?"

Faza terdiam sejenak, ia menatap Maira didepannya. Wajah itu menunduk dan terus menangis. Ujung bibir Faza terangkat perlahan, ia tersenyum.

"Kamu benar, Maira, inilah jawaban kegelisahanmu itu, dan kamu bisa seperti mereka."

"Tapi apa aku pantas, kak."

"Kamu pantas Maira, siapa saja akan pantas mendapatkan kedamaian itu. Maira, shalatlah, dan kamu akan merasakan kedamaian jauh dari hanya melihatnya saja."

Tangis Maira terhenti, menatap Faza lalu menggeleng pelan. "Aku tidak bisa shalat, nenekku pernah mengajariku, saat itu aku masih kecil, tapi setelah nenek tiada, tidak ada lagi yang mengajariku shalat, ayah, ibu, mereka hanya sibuk dengan kehidupan mereka sendiri."

"Aku dan Aulia siap mengajarimu, Maira."

"Sungguh?" Tampak mata itu berbinar, senyuman terulas sama di wajah Maira.

Faza mengangguk.

"Insyaallah, Maira. Tapi berjanjilah, kamu tidak akan kembali melakukan hal yang sama seperti dulu lagi."

Maira mengangguk cepat. "Aku janji kak, aku akan merubahnya dan tidak akan melakukannya lagi."

Faza tersenyum lalu mengangguk.







***

Setelah sekian lama gak up, akhirnya up juga, ada yang nunggu? Jangan lupa kasih vote dan kasih saran juga jika ada kekurangan dalam cerita.

Terimakasih semuanya..

Bidadariku, Almaira[Open PO]Where stories live. Discover now