Love is hurt 9

595 65 12
                                    


"Pikirkan perkataanku Sean."

Ucapan Sena terus-menerus terngiang di benak Sean, sudah beberapa hari ini ia tak fokus bekerja, pikirannya hanya tertuju kepada Sena.

Setelah insiden permintaan cerai Sena hari itu, Sean tak lagi berbicara dengan Sena, dan sepertinya Sena pun jarang keluar dari kamar, ia lebih senang menyendiri.

Sean menjambak rambutnya dengan kuat, dengan senyum miringnya, ia berucap, "Semua yang sudah kumiliki, tidak akan aku biarkan untuk pergi dan tak akan pernah aku lepaskan."

Sean langsung bangkit dari kursi besarnya, ia sudah memantapkan diri, hari ini ia akan berbicara dengan Sena.

Dengan senyuman manis di bibirnya, Sean keluar dari kantornya, sapaan para karyawannya pun juga ia balas, ia memanggil Jefrey dan meminta kunci mobilnya yang tadi ia berikan kepadanya.

Sean memberikan flying kiss kepada Jefrey, yang membuat Jefrey bergidik ngeri serta memperagakan orang yang ingin muntah.

Sean tak mempedulikannya, ia langsung tancap gas menuju rumahnya, suasana hatinya kini tengah bahagia, entah apa penyebabnya, Sean pun tak tahu pasti.

Sean langsung masuk ke kamar Sena, pintunya tak tertutup, hingga memudahkan Sean untuk masuk tanpa membuat suara yang membuat Sena curiga.

Sean mendekati Sena, ia tak ada niatan untuk memulai pembicaraan, mulutnya seakan terkunci tatkala melihat Sena yang hanya melamun dengan posisi duduk dibalut selimut putihnya serta tangannya yang ia letakkan di atas lutut.

Sena menutup matanya sejenak, ia membuka matanya lagi dan langsung memunculkan air matanya.

Sean langsung duduk di depan Sena, di atas ranjang tepatnya.

Sena yang merasakan adanya pergerakan di atas ranjangnya langsung mengusap air matanya, ia tak mau terlihat lemah.

"Sudah memikirkan tentang perkataanku?" Tanya Sena langsung pada intinya.

"Kenapa kamu bisa tau kalau aku adalah Sean?" Sean malah berbalik tanya.

Sena menampilkan senyum miringnya, "Siapa lagi yang mau masuk ke kamarku kecuali kamu dan Mina, karena sekarang Mina sedang libur, maka sudah pasti itu adalah dirimu."

"Jadi, apakah kamu sudah memikirkan perkataanku?" Tanya Sena lagi.

"Hmm, sepertinya sudah." Sena mengangguk.

"Jadi, bagaimana? Kamu setuju kan untuk menceraikanku?"

"Tidak begitu Sena." Ucap Sean, Sena mengerutkan keningnya.

"Dalam kehidupanku, aku ingin menikah satu kali seumur hidupku......."

"Intinya kamu tidak ingin menceraikanku?" Tanya Sena, Sean menjentikkan jarinya.

"Tebakanmu benar sekali." Wajah Sena menjadi murung.

"Tapi kenapa? Kenapa kamu tidak ingin menceraikanku? Aku ingin keluar dari ikatan ini, ikatan ini sungguh menyakitkan bagiku, mungkin kamu tidak merasakannya, tapi hatiku selalu sakit Sean, sakit." Sena menangis lagi sambil memukul-mukul dadanya.

Sean yang melihatnya pun tak tega, ia langsung memeluk Sena, kenapa hatinya sakit ketika melihat Sena menangis? Ada apa dengan dirinya? Tanpa berpikir panjang Sean berucap yang membuat Sena memberhentikan tangisannya.

"Ajari aku untuk mencintaimu."

•••••

Jarum jam terus bergerak menimbulkan suara yang mendominasi keheningan dalam kamar ini.

Sena melepaskan pelukannya dan mengusap sisa-sisa air matanya, ia bingung, bagaimana ekspresi wajah Sean saat berucap tadi, ia takut jika Sean berucap hanya untuk menenangkannya dan tak ingin melepaskannya.

"Sean." Panggil Sena, Sean langsung menatap Sena.

"Apakah kamu bersungguh-sungguh ingin belajar mencintaiku?" Sebelum Sean sempat menjawab, ponsel Sean berdering hingga Sean meminta izin Sena untuk mengangkatnya terlebih dahulu.

Setelah Sean selesai dengan ponselnya, ia kembali lagi ke kamar Sena.

"Aku keluar dulu, ada urusan yang sangat penting." Izin Sean kepada Sena, Sena mengangguk, memangnya ia bisa mencegah Sean pergi?

Sean mendekati Sena, mencium keningnya dan mengelus rambutnya sebentar.

"Kita mulai dari awal." Ucap Sean kemudian ia keluar dari rumah.

Sena memegang dadanya, apa-apaan ini? Kenapa dadanya berdetak dengan sangat cepat? Kenapa bibirnya tak bisa berhenti tersenyum?

Sena membaringkan tubuhnya kemudian menutup seluruh tubuhnya dengan selimut dan berteriak di bawah hangatnya selimut itu.

Sean hanya mencium kening dan mengelus rambutnya, tapi kenapa ia sangat bahagia?

Apakah kebahagiaannya akan segera dimulai?

Tapi ada sesuatu yang mengganjal di benaknya, bagaimana dengan wanita itu? Wanita yang pernah ia dengar suaranya itu?

Seketika, wajah bahagia Sena kembali menjadi murung , dalam kehangatan selimut itu , ia berpikir keras lagi , apakah ini awal kebahagiaannya atau penderitaannya akan semakin panjang ?

•••••

Malam tiba, di rumah utama keluarga Sean, tepatnya di ruang makan, terdapat seorang ibu dan anak.

"Kenapa suamimu tidak ikut ke sini?" Tanya Rachel, ibu Sean.

"Dia sedang lembur di kantor, ma." Jawab Egi dengan senyum cantiknya.

Rachel menanggapi Egi dengan ikut tersenyum, ia melirik sebentar ponselnya, sepertinya ada panggilan masuk, ponselnya dalam mode silent.

Rachel izin sebentar untuk mengangkat panggilan itu, wajahnya seakan tak menunjukkan kebahagiaan setelah menerima panggilan itu.

Rachel menghela nafas kasar, "Sepertinya mama tidak bisa memberikan kado spesial kepada Sena."

Egi mengernyitkan dahinya, "Memangnya kado apa, ma?"

"Kado pernikahan, mama ingin memberikan Sena hadiah operasi untuk matanya." Jawab Rachel.

"Mama sudah mencari pendonor mata sejak setahun yang lalu tapi belum ada yang cocok untuk Sena." Rachel melanjutkan ucapannya, Sena pernah diperiksa setahun yang lalu ketika ia masuk rumah sakit karena sakit mag-nya, dan saat itu pula Rachel mulai mencari pendonor yang tepat untuk Sen, dan tentu Sena tak mengetahuinya.

Mama sabar saja, mungkin nanti juga ada." Egi mengulas senyumnya.

"Pasti, mama selalu berdoa agar Sena segera mendapat penglihatannya." Pembicaraan ibu anak itu berakhir dan dilanjutkan dengan makan malam yang sangat khidmat tanpa adanya suara, kecuali suara dentingan piring dan juga sendok.

•••••

Aderin keluar masuk toko roti miliknya, ia bingung, haruskah ia pergi ke rumah kakaknya? Tapi, ia tak mau bertemu laki-laki itu. Ia sudah tau alamat rumah kakaknya dari pembantu yang bekerja di rumah mertua kakaknya itu.

Aderin memijat pelipisnya, kepalanya sungguh pusing, haruskah ia ke sana atau tidak?

Keputusannya sudah bulat, ia harus ke sana sekarang, titik, tidak pakai koma.

"Sahila! Aku titip Justin dulu, aku keluar sebentar!" Aderin berteriak dari luar tokonya, semoga saja Sahila mendengar teriakannya.

Love is HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang