31. If you die, I swear... I'm gonna hate you

3.3K 436 301
                                    

Julian menapaki teras UGD rumah sakit dengan langkah kaki seolah melayang. Dari rumah dia sudah menyiapkan hati dan perasaannya agar tetap tegar dan kuat. Tapi begitu supir pribadinya menghentikan mobil tepat di teras depan ruang gawat darurat rumah sakit itu, tangan dan kaki Julian gemetar seketika. Dadanya langsung sesak.

Dan dia mesti menghirup dalam-dalam asupan oksigen untuk kebutuhan paru-parunya sebelum tangannya yang masih gemetar itu membuka pintu mobilnya.

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit itu dilaluinya dalam permohonan ramai kalbunya. Batinnya merapal selaksa lantunan doa dan ejaan asa untuk kekasihnya.

Semua orang menelepon, mengabarkan kejadian mengagetkan yang tidak terduga itu. Setelah Mbak Tabitha, Pak Heri menelepon dengan suara pelan namun dengan nafas terputus-putus. Mang Danu juga melaporkan dengan suara gemetar terbalur gugup patah-patah yang sangat kental.

Lalu Bagas meneleponnya, dengan nada suara begitu sangat berhati-hati menanyakan apa dia sudah mendapat kabar tentang Faiz. Seakan kabar buruk itu bisa mematahkannya dalam kepingan-kepingan bejana yang melapuk. Bos sekaligus sahabat kekasihnya itu mengabarkan dengan nada suara teduh menenangkan, seolah ucapan hiburannya bisa meredam hujaman jarum nestapa yang riuh menggempur perasaannya.

Bagas bahkan menjanjikan bahwa Faiz akan baik-baik saja bila nanti Julian mengunjunginya. Mungkin akan menyambut dengan senyum penuh kasihnya. Mahenz juga ikut bicara, berjanji akan datang secepat mungkin, dia bersiap menyodorkan bahu untuk ungkapan laranya. 

Yang pasti Julian tahu sahabatnya itu tidak akan mungkin bisa datang dalam rentang waktu satu atau dua jam ke depan. Padahal setelah Mbak Tabitha menutup teleponnya tadi, dia sudah  sangat membutuhkan seseorang untuk bisa menenangkan batinnya yang terperosok jatuh ke dalam palung kegetiran.

Papa juga meneleponnya, menanyakan kebenaran kabar itu padanya. Tapi Julian masih terlalu shock untuk menyahut begitu menyadari kenyataan yang meluruhkan jiwanya itu.

Dia baru saja bicara dengan kekasihnya itu tiga jam yang lalu. Faiz masih baik-baik saja. Masih menyapa dengan raga bugar. Masih dalam keadaan sehat. Masih tersenyum selembut awan, menenangkan hatinya yang sedang resah. Kekasihnya itu masih sempat mengulir godaan gurau penuh sayang. Mereka bahkan sudah mengulas janji akan bertemu di kampusnya nanti.

Namun bila takdir sudah menguratkan pena maha kuasa-Nya, siapa yang bisa mengelak?

Tidak ada satu ungkapan yang bisa menggambarkan perasaan hatinya saat ini, saat kuasa takdir menorehkan raut sembilu dengan ujung tapak belatinya. Menyambung guratan timpang dalam hidupnya yang tercoreng noktah kelabu.

Rongga dadanya terasa sesak oleh kalut yang menghimpitnya. Pikirannya begitu penuh oleh kecemasan yang berkejaran. Kecemasan yang selama ini membaur gaduh di tepian mimpinya, menayangkan gurat takdir yang harus dilakoninya. Membuat jiwanya lantak tak berdaya.

"Julian!"

Suara lirih Mbak Tabitha menghentikan langkah pendek limbungnya. Julian menoleh ke arah kiri. Di mana terpancang kursi-kursi untuk duduk menunggu di depan pintu ruang gawat darurat itu. Mbak Tabitha berdiri dengan mata yang masih basah kuyub. Telapak tangannya tampak bergetar ketika dia menghampiri Julian sambil menutup mulutnya yang terisak.

Julian mendekat pada kakak perempuan Faiz satu-satunya itu. Membiarkan tubuhnya dipeluk dengan erat sambil mencoba meredam isakan tersendat sang kakak yang tubuhnya malah bergetar penuh kesedihan.

Tidak ada satu pun ujaran penghiburan yang bisa dilantunkannya ke telinga sang kakak, untuk mengikis tangisnya. Lidahnya sendiri kelu terlilit sedu. Setiap dia ingin mengucapkan bait penghiburan, rasa panas di matanya malah mengancam akan menjebol tanggul pertahanan hatinya.

Fallen Deeply In Love With YouWhere stories live. Discover now