22. Apocalypse

3.4K 460 124
                                    

Julian masuk ke dalam rumahnya yang sepi dan hening, sambil menenteng buku-buku diktat hukumnya yang berat. Seberat matanya yang sudah ingin berkelana ke alam mimpi.

Faiz sedang berada di Bali. Dia terpaksa menikmati waktunya sendirian. Meski Faiz tidak pernah mengharuskannya berada di sisinya setiap saat. Dia-lah yang sekarang tidak bisa sendirian lagi. Dia sudah terbiasa berada di dekat Faiz. Bahkan menginap di apartemen-nya sampai berhari-hari. Rasanya dia tidak bisa melewati hari tanpa melihat kekasihnya itu. Meskipun dia malu untuk mengakuinya, tapi memang dia sudah mulai tergantung pada Faiz.

Kalau saja Faiz ada di Jakarta, Julian mungkin akan memilih pulang ke apartemen kekasihnya itu. Menunggu Faiz pulang kerja sambil bersantai di kamarnya. Dari pada pulang ke rumahnya yang hening ini.

Melewati ruang tamu yang luas, tangannya terangkat untuk menutup kuap yang lolos dari mulutnya. Papa dan Mama pasti belum sampai rumah. Dia mungkin akan melewatkan makan malam bersama mereka malam ini. Dia lapar tapi matanya rasanya tidak bisa diajak kompromi. Dia mungkin akan lebih memilih tidur saja.

Membelok ke ruang tengah untuk menuju ke kamarnya, dia baru menyadari ada seseorang yang duduk tenang di sana.

"Mama?" gumamnya melihat Mama duduk sambil menatapi akuarium besar berisi ikan-ikan hias yang ada di ruang tengah itu.

Mama orang yang sibuk. Tidak ada waktunya yang akan terbuang percuma. Selalu ada saja yang dikerjakannya di rumah. Entah membaca buku-buku literatur kedokterannya, berkutat di depan laptop-nya atau bekerja di ruang kerjanya. Jadi Julian merasa heran melihatnya bisa duduk diam seperti itu.

"Ma!" panggilnya ragu-ragu sambil menghampiri wanita pertama dalam hidupnya itu.

Mama menoleh. Wajahnya datar meski terlihat murung. Pandangan matanya tak terbaca. Lalu berkedip seolah baru menyadari ada orang di dekatnya. Tidak biasanya. Mama rupanya benar-benar melamun.

"Ade sudah pulang?"

"Mama nih yang tumben, sudah ada di rumah jam segini."

Julian tersenyum lemah, karena pengaruh kantuknya. Dia menghempaskan tubuhnya di kursi sofa sebelah Mama, setelah mencium tangan dan pipi Mama. Dia tidak memperhatikan kalau Mamanya mendadak kaku menerima ciumannya.

"Ibu!" Julian memanggil Ibu Retno yang kebetulan lewat sambil menggendong Bara.

"Lho, kok Ade baru pulang?" wanita paruh baya yang lembut itu, langsung menghampiri Julian yang sedang duduk setengah bersandar di sofa.

"Biasa, Bu. Macet," Julian terkekeh ketika Bara melompat ke pangkuannya. Jari-jari tangannya langsung menggaruk-garuk leher Bara, membuat kucing gendut itu berguling untuk berbaring di pangkuan Julian. "Ade haus, Bu." katanya pada Ibu Retno.

"Ade mau minum apa?" tanya Ibu Retno lembut sambil mengambil tas ransel dan buku-buku diktat Julian yang berserakan di meja.

Meskipun dia sudah kuliah, tetap saja Ibu Retno memperlakukan Julian seperti anak SD, yang segala keperluannya harus dibereskan dan diperhatikan.

"Ada buah nggak, Bu?"

Dan meskipun Julian sudah kuliah, dia tetap bisa manja pada Ibu Retno sesuka hati.

"Ade mau jus jambu?"

"Boleh, Bu." angguk Julian senang. "Nggak pakai lama ya, Bu."

"Kalau Ibu nggak digangguin Bara lho." senyum Ibu Retno lagi.

"Ya udah, Bara di sini aja," Julian memegang kedua kaki Bara, menggoyang-goyang dengan gemas sambil berlagak mau menciumnya. Tapi kucing itu mengeliat dengan cepat, lalu melompat dari pangkuan Julian untuk mengikuti langkah-langkah kaki Ibu Retno ke kamar Julian.

Fallen Deeply In Love With YouWhere stories live. Discover now